Konstruksi Integritas Bisnis Indonesia Menuju Environmentally Friendly Business


No finer citizen ever came to a country; no finer neighbor ever moved onto a block; no finer friend ever shared a meal; and no finer human being ever shone on a planet” (Ottman, J. 1998)[1]

Pendahuluan

Sebagai seorang mahasiswa yang masih duduk di program Adminstrasi Bisnis, saya selalu bersemangat jika dosen membahas mengenai bisnis yang berwawasan lingkungan. Hal tersebut mendorong saya untuk menulis hubungan antara bisnis dengan lingkungan dan  mengangkat topik serupa sebagai karya skripsi. Terdapat ‘dorongan’ bagi saya untuk mengkaji apa yang sebenarnya dimaksud dengan bisnis yang berwawasan lingkungan. Bukan hanya sekedar berwawasan, namun juga bisnis yang benar-benar dijalankan berdasarkan kepedulian dan pertimbangan terhadap lingkungan.

Dalam bisnis yang berwawasan lingkungan, proses produksi dan produk yang dihasilkan adalah sesuatu yang tidak merusak lingkungan. Sehingga apabila konsumen membeli produk tersebut, konsumen pun turut berperan serta dan merupakan langkah nyata untuk aktifitas going green. Pengertian green sendiri tidak memiliki definisi yang baku, karena pengertiannya tergantung pada atas produk apa yang dihasilkan, bagaimana penggunaannya, seberapa sering digunakan, siapa penggunanya dan apa alasan produk tersebut dihasilkan. Namun demikian, green dapat diartikan sebagai produk yang tidak beracun (nontoxic), terbuat dari bahan yang didaur ulang (made form recycled materials), serta didukung aktivitas produksi yang memperhatikan emisi yang terjadi selama pengadaan (store), penggunaan (usage) serta transportasi (transport to warehouse)[2].

Perusahaan besar dan kecil serta para konsumen di Amerika Serikat, misalnya, telah mengedepankan “green” dalam aktivitas bisnis secara komprehensif sebagai terminologi atas: (1) penjualan yang ramah lingkungan  (selling eco-friendly), (2) berkesinambungan (sustainable), dan (3) clean pada produk dan jasa yang ditawarkan. Bahkan pertimbangan sebagian besar konsumen di negara Paman Sam tersebut, yang mengutamakan produk tidak membahayakan lingkungan sebesar 77% ketika membeli suatu produk[3]. Selain itu mereka juga:

  • 90% melakukan daur ulang;
  • 83% telah mengambil langkah untuk mengurangi penggunaan energi;
  • 83% mencoba untuk menggunakan air seperlunya;
  • 83% secara sadar telah menghindari produk-produk yang membahayakan lingkungan;
  • 73% membeli produk-produk yang bermanfaat bagi lingkungan[4]

Lantas, bagaimana di Indonesia, apakah perhatian para pengusaha dan konsumen di negeri ini terhadap keberlangsungan lingkungan dan alam semesta sama besarnya seperti yang telah/sedang terjadi di negara-negara lain di belahan bumi? Intinya, apakah green revolution telah menjadi topik utama bagi masyarakat Indonesia; baik dari sisi pengusaha maupun konsumen? Lalu sejauh apakah integritas yang dapat dibentuk pada rantai semua pihak pada iklim bisnis dan kepedulian terhadap lingkungan ini?

Rekonstruksi Konsumerisme menuju Green Consumerism

Dewasa ini, pilihan para konsumen tidak hanya sebatas harga dan referensi kualitas saja, tetapi juga mempertimbangkan nilai sosial dan moral yang melekat pada suatu produk dan jasa. Hal tersebut berakibat pada pesatnya pertumbuhan pasar global atas produk-produk organik dan produk yang ramah lingkungan (environmentally friendly products). Ditambah lagi konsumen yang mengutamakan etika dalam bidang-bidang kehidupan seperti energi, peternakan dan perdagangan (Chen, 2001; Crane, 2001; Torjusen, Lieblein, Wandel & Francis, 2001)[5].

Kesadaran masyarakat dunia akan pentingnya pelestarian lingkungan tersebut sejalan dengan meningkatnya kekhawatiran terhadap bencana lingkungan hidup yang kian mengancam manusia dan keturunannya. Telah banyak bukti kerusakan yang dipaparkan oleh para ilmuwan beserta data dari pemerhati lingkungan, seperti kerusakan yang telah tampak berupa penipisan lapisan ozon yang secara langsung memperbesar prevelensi kanker kulit dan berpotensi mengacaukan iklim dunia serta pemanasan global; terjadi hujan asam; efek rumah kaca; polusi udara dan air yang sudah pada taraf berbahaya; hingga kebakaran serta penggundulan hutan yang mengancam jumlah oksigen di atmosfir bumi dan menyebabkan banjir di sejumlah wilayah. Bahkan sampah pun telah menjadi masalah besar karena jumlahnya yang semakin banyak, ditambah kesulitan untuk mendaur ulang sampah-sampah tersebut. Masalah lingkungan inilah yang menjadi dasar terjadinya perubahan asumsi masyarakat untuk semakin peduli dan bertanggung jawab terhadap sosial dan moral pada lingkungan (sense of social responsibility and morality)[6].

Hidup ditengah situasi perubahan lingkungan yang sedemikian rupa, akhirnya memunculkan green consumerism. Green consumerism adalah kelanjutan dari gerakan konsumerisme global yang dimulai dengan adanya kesadaran konsumen akan hak-haknya untuk mendapatkan produk yang layak, aman dan produk yang ramah lingkungan (environment friendly product). Produk yang diinginkan adalah produk yang mengurangi kerusakan yang ditimbulkan. Lantas, siapakah green consumer? Menurut studi yang dilakukan, mereka adalah:

  1. Konsumen yang terdidik dengan baik dan sadar akan apa yang sedang terjadi, seperti perempuan dan remaja;
  2. Konsumen yang mengharapkan fungsi pada green product dapat maksimal dan tidak akan membayar lebih jika tidak berkualitas ‘hijau’;
  3. Konsumen yang memilih produk yang memenuhi keinginan dan kebutuhannya, apabila terdapat features tambahan untuk lingkungan;
  4. Konsumen yang akan mentoleransi kesulitan dalam penggunaan produk asal tetap berdampak positif terhadap lingkungan;
  5. Konsumen yang penuh kritik, memiliki hasrat untuk mempelajari serta mengejek perusahaan yang tidak memberikan green product karena konsumen telah memiliki standar verifikasinya sendiri terhadap produk yang diinginkan;
  6. Konsumen tidak akan mengharapkan green product yang sempurna dari perusahaan, tapi setidaknya menghargai upaya dan komitmen perusahaan untuk meningkatkan manfaat green product dengan sejunlah bukti nyata[7].

Internalisasi Pendekatan Environment Frinedly Business Bagi Perusahaan

Bagaimana dengan perusahaan atau pengusaha? Dengan mencuatnya isu-isu lingkungan, perusahaan menerapkan strategi pada fungsional perusahaan, misalnya pada pemasaran yang dikenal sebagai green marketing. Itu berarti setelah sekian lama setiap pengusaha yang menjalankan bisnis melupakan tanggung jawab terhadap lingkungan, kini hubungan tersebut justru dipaksa untuk memperkecil gap yang ada sehingga tanggung jawab terhadap lingkungan bukan hanya sebatas aktivitas Social Corporate Responsibility (SCR) semata. Dengan kata lain, pemasar tiap-tiap perusahaan harus berjati-hati ketika mengambil keputusan yang melibatkan lingkungan. Salah satunya ditandai dengan penerapan standar internasional, disebut ISO-14000.

Green revolution, going green, environmental protection, sustainable life style, sustainable development, protecting the earth adalah beberapa pendekatan yang dilakukan perusahaan dalam mencapai tujuan “green” yang sebenarnya. Khusus untuk area produk, integritas yang berasal pada isu lingkungan tentu saja perlu ditingkatkan bagi seluruh aktivitas perusahaan, mulai dari formulasi strategi, perencanaan, penyusunan hingga produksi dan penyaluran/distribusi kepada pelanggan. Integritas tersebut dapat berupa:

  1. Teknologi yang tepat dan terbarukan guna menangani limbah dan polusi udara,
  2. Strandarisasi produk untuk menjamin produk yang ramah lingkungan,
  3. Menyediakan produk yang benar-benar alami;
  4. Orientasi produk lewat konservatif sumber daya dan mengutamakan kesehatan.

Perubahan tren bisnis ini membentuk peran baru bagi perusahaan untuk ikut serta memenuhi kebutuhan masyarakat yang sadar akan lingkungan. Di sisi lain, hal tersebut juga merupakan potensi ‘emas’ bagi perusahaan untuk mencapai keunggulan (competitive advantages) dalam industri sehingga mengembangkan produk dan pelayanannya. Di Indonesia misalnya, 90% supermarket dan minimarket seperti Carrefour, Indomart, Alfamart, Superindo, Hero, Giant, Gramedia, Zara, Time Zone, Kemchicks, Guardian, Premium Factory Outlet hingga toko langganan saya mengganti ulang tinta printer, Veneta Refill, telah mengganti kantong plastik yang digunakan dengan bahan yang mengandung Oxium buatan PT Tirta Marta[8]. Penambahan aditif yang dapat mempercepat proses degradasi plastik hanya dalam waktu 2 tahun saja melalui oksidasi, thermal dan fotodegradasi ini, sengaja dilakukan terkait dengan keberadaan sampah kantong plastik yang kian ‘menggunung’ dan dianggap merusak lingkungan. Bahkan sejumlah perusahaan telah mengembangkan shopping bag non-plastik untuk mewujudkan gerakan “Bring your own bag” (di Kanada dan Singapura) atau sejenis “Kampanye Diet Kantong Plastik” (Bandung, Indonesia).

Meski demikian, banyak pula pandangan yang menganggap perubahan seperti di atas sebagai ancaman atau sesuatu yang justru berpotensi menambah pengeluaran perusahaan. Menurut Peatie (1999) dalam Byrne (2002) bahwa inti dari “green” didapat hanya sebagai retorika saja dibandingkan substansinya. Bahkan ketika manajemen mengarahkan perusahaan untuk peduli terhadap masalah lingkungan, hal tersebut tidak mendapat ‘restu’ dari para pemegang saham (Mathur & Mathur, 2000)[9]. Buktinya masih banyak perusahaan di negeri ini yang dalam melangsungkan proses produksinya menghasilkan berbagai limbah, menggunakan bahan kimia berbahaya, dan secara langsung maupun tidak langsung telah melakukan pencemaran air, tanah dan udara secara terus-menerus. Buruknya, tidak ada kontrol dan teguran dari pihak government terkait fenomena tersebut. Aduh…

Konstruksi Bangunan Integritas “Calon dan Entrepreneur Muda Indonesia”

Melihat fenomena yang terjadi seputar bisnis dan lingkungan, sekiranya hal tersebut telah memberi tanda bahwa kita harus segera berbenah diri. Bagi seorang pengusaha memang benar adanya bahwa peroleh keuntungan yang maksimal adalah tujuan akhir dari sebuah bisnis. Namun, prinsip itu tidak boleh dibiarkan ‘terukir selamanya’ dan membuat semua pihak kalap. Pembenahan diri dapat dimulai dari niatan di awal berdirinya sebuah bisnis, termasuk bagi calon pengusaha. Memang benar, virus entrepreneur di Indonesia sedang merebak. Hal tersebut dibuktikan dengan angka unit bisnis di negeri ini meningkat sebanyak 53.207.000 untuk unit mikro, 573.601 unit kecil, 42.631 unit menengah, dan 4.838 unit bisnis besar di tahun 2011 ini. Berarti jumlah entrepreneur di Indonesia mencapai 0,24% dari jumlah penduduk sebanyak 237,64 juta orang, atau setara 570.339 unit[10]. Bayangkan jika semua unit bisnis tersebut melakukan bisnis ramah lingkungan secara serentak dan berkesinambungan! Saya yakin, Indonesia akan mengalahkan sejumlah perusahaan di Amerika Serikat ataupun di negara-negara lain dalam kegiatan bisnis yang berwawasan lingkungan.

Selain itu, dewasa ini ada fenomena yang merebak antara para pemuda dan entrepreneurship. Kalangan pemuda ‘digodok’ untuk menanggalkan status pengangguran dengan berwirausaha, baik bisnis pribadi maupun bisnis masyarakat. Keuntungan mendorong entrepreneur muda menjadi nilai personal bagi pemuda dalam: (1) keterampilan berbisnis, (2) pengalaman berbisnis, (3) rasa tanggung jawab bagi dan dalam masyarakat, (4) pengakuan dan penghargaan orang lain, (5) kepercayaan serta (7) kemampuan untuk menciptakan pekerjaan mereka dan mendapatkan penghidupan. Pertanyaannya, dapatkah entrepreneur muda melihat kesempatan bisnis ‘hijau’ (green business opportunity)?

Tentu bisa! Karena ada hubungan yang kuat antara bisnis berkelanjutan (sustainable business), konsumen hijau (green consumers) dan peranan universitas (role of collages and universities).  Tindakan awal yang dapat dilakukan adalah memberikan pendalaman mengenai bisnis yang berwawasan lingkungan dan menyertakan isu-isu perubahan lingkungan ke dalam literatur. Materi dapat meliputi pemahaman secara komprehensif mengenai green marketing, green product and services, moral regulation, green consumer, green brand and symbols, green purchasing behavior, social responsible investment, environmental standard, green strategy, hingga pendekatan-pendekatan lain yang pada umumnya dilakukan di dalam aktivitas bisnis. Hal tersebut dilakukan sebagai pondasi dasar bagi calon entrepreneur muda terutama yang masih berstatus mahasiswa, namun berminat menjadi entrepreneur. Calon entrepreneur juga diajak untuk menemukan ide-ide bisnis yang berwawasan lingkungan yang selanjutnya dikembangkan di dalam inkubator bisnis (business incubator) agar memberikan nilai tambah (added value) dan menjadi bisnis yang berkelanjutan (sustainable business).

Bagi entrepreneur muda yang telah menjalankan bisnis dan mengasilkan profit, perubahan asumsi dasar going green belum terlambat untuk dilakukan. Telah banyak studi yang menggambarkan betapa strategi green marketing memberikan pengaruh bagi kinerja persusahaan. Hal tersebut terkait green strategy, green process, hingga rantai distribusi (supply chain management)[11]. Para entrepreneur dapat melakukan upaya, antara lain:

Pemakaian yang dikurangi (Reduction):

·    Listrik

·    Bahan bakar

·    Air

Pengurangan terhadap output yang berbahaya (Recycle):

·    Limbah

·    Polusi

·    Emisi gas

Perawatan Product (Procurement):

·    Peremajaan

·    Tidak beracun

·    Mengutamakan produk organic

·    Daur ulang

Mengganti kerugian pengeluaran (emission offset):

·    Berinvestasi untuk menutup kerugian pada proyek yang krusial saja

·    Hanya berfokus pada aktivitas yang menguntungkan secara beragam

Sumber: dikembangkan oleh PhoCusWright Inc. [12]

Selain itu, perusahaan juga dapat melakukan:

  1. Pendekatan social responsibility yang mendalam dimana perusahaan harus mencapai tujuan terhadap lingkungan sama besarnya dengan tujuan untuk meraih keuntungan maksimal,
  2. Menggunakan isu lingkungan sebagai alat dalam pemasaran produk,
  3. Perusahaan bertanggung jawab tanpa harus mempromosikan apa yang dilakukan. Dalam hal ini dapat mengambil contoh apa yang dilakukan oleh Coca-Cola, dimana perusahaan menginvestasikan banyak uang untuk kegiatan menggunakan kembali (recycle), yaitu dengan memodifikasi kembali botol-botol sebagai kemasan untuk mengurangi dampak lingkungan[13].
  4. Perusahaan juga memiliki andil untuk mengedukasi masyarakat, sehingga diharapkan kedepannya tidak ada lagi masyarakat yang tidak mengerti atas isu lingkungan apa yang sedang terjadi.
  5. Perusahaan juga perlu menerapkan green organization bagi keberlangusngan perushaaan dan stakeholder-nya.
  6. Berkomitmen pada lima poin penting; (1) mengetahui apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh konsumen, (2) memberdayakan konsumen, (3) transparan, (4) menenangkan hati konsumen dan (5) mempertimbangkan harga produk/jasa yang ditawarkan.

Yang tak kalah pentingnya adalah perlunya tekanan dari pemerintah (governmental pressure). Tujuan dari hal tersebut adalah untuk ‘melindungi’ konsumen dan masyarakat terhadap aktivitas bisnis. Pemerintah dapat mengeluarkan, menerapkan dan mengawasi pelaksaaan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan bisnis dan lingkungan. Penerapan peraturan pemerintah ini juga bertujuan untuk menghindari kerusakan lingkungan dalam jumlah besar yang dapat dihasilkan oleh perusahaan. Diperlukan juga ketegasan yang berkesinambungan dari pemerintah untuk menjaga peraturan tetap berjalan sebagaimana mestinya, mulai peraturan (yang sebenarnya) ringan seperti larangan menggunakan kantong plastik hingga peraturan terkait pengelolaan limbah industri.

Integritas yang tercipta antara calon entrepreneur, perusahaan, konsumen dan pemerintah dalam menghadirkan bisnis yang berwawasan lingkungan adalah dambaan di semua negara. Perbedaan antara masyarakat Indonesia dengan Amerika ataupun masyarakat di negara lain terkait hal tersebut adalah soal waktu. Green revolution ditandai bisnis yang ramah lingkungan di Amerika telah dimulai sejak 1960 dan barulah pada 1996 mencuat perubahan yang massive pada gaya hidup untuk mengedepankan perlindungan terhadap lingkungan. Sedangkan di Indonesia, terjadi keterlambatan sekian tahun atas perubahan tersebut.

Namun, tidak ada kata terlambat untuk melakukan hal yang positif demi keberlangsungan manusia di bumi. Khususnya bagi pemuda Indonesia yang akan memegang kendali iklim bisnis negeri ini di masa yang akan datang. Itulah sebabnya, mulai sekarang integritas pemuda sebagai calon dan entrepreneur sejatinya perlu ditingkat lebih ‘tajam’ pada perlindungan terhadap lingkungan di atas tujuan bisnis semata. Ingat, kegiatan bisnis apapun tidak akan pernah lepas dari lingkungan dan alam semesta karena itulah kita patut menghargainya sebagai wujud kebijaksanaan seorang khalifah. Mari pekikkan: “My business is green, and you??

REFERENSI

[1] Ottman, A. Jacquelyn. (1998). Green Marketing: Opportunity for Innovation. New York, USA.

[2] Ottman, A. Jacquelyn. (1998). Green Marketing: Opportunity for Innovation, page 89. New York, USA.

[3] Clearwokrs, Green Resource Network, Infoco USA dan ExecuteNow. (2009). Green Product and Service Research: Green Products and Services- A Viewpoint from Consumers and Small and Medium Business. Fall November 2009.

[4] http://www.earthsfriends.com/do-americans-care-about-environment. Diakses pada 10 Desember 2011.

[5] Hunt and Dorfman in Research Report: Do Freen Product Make Us Better People by Nlna Mazar and Chen-Bo Zhong. (2010). University of Toronto, Canada.

[6] Haryadi, Rudi. (2009). Pengaruh Strategi Green Marketing Terhadap Pilihan Konsumen Melalui Pendekatan Marketing Mix (Studi Kasus pada The Body Shop Jakarta). Tesis Universitas Diponegoro, Semarang.

[7] Brochure of Sustainable Industries: Green Marketing, The Competitive Advantage of Sustainability by Queensland Government and Environmental Protection Agency. Australia, 2009.

[8] http://sains.kompas.com/red/2010/08/31/22493110/Plastik.Oxium.Terurai.dalam.Dua.Tahun-5. Diakses pada 1 Desember 2011.

[9] Purwanto. (2010). Pendekatan Bisnis dalam Pengelolaan Limbah Industri. Makalah pada Universitas Diponegoro.

[10] Simposium Generale oleh Menteri Koperasi dan UKM RI, Dr. Syarief Hasan di Institut Manajemen Telkom. 7 Desember 2011.

[11] Cronin Joseph and team. (2010). Green marketing Strategies: An Examination of Stakeholders and The Opportunities They Present. Academy of Marketing Science, USA.

[12] Rheem, Carroll. (2009). Going Green: The Business Impact of Environmental Awareness on Travel. Sherman, USA.

[13] Polonsky, J. Michael. (1994). An Introduction to Green Marketing. Electronic Green Journal 1(2) Article 3. University California: Los Angeles, USA.

 

P.S. : Tulisan ini saya presentasikan di Universitas Tarumanegara tahun 2012, sebagai Juara 3 Essay Competition dengan topik Integrity in Campus Zone. Alhamdulillah…

,

Leave a Reply