Pengalaman Dosen Muda Memiliki Mahasiswa Istimewah: Jeda Terhenti Menuju Agustus


Kemarin Senin minggu kedua bulan Mei. 28 hari menuju Ramadhan. Suara adzan dari masjid dekat rumah menggema seantero kawasan padat penduduk. Saya bangkit. Menyiram wajah dengan wudhu, lalu melaksanakan kewajiban kehadapan Sang Pemilik alam semesta. 2 rakaat diawal sebagai sunnah, dilanjutkan 2 rakaat sebagai sholat utama. Disebut sholat Subuh. Sebagai seorang hamba, pilihan hidup terbaik adalah mengutamakan akhirat agar Allah memberikan kemudahan segala urusan duniawi. Ajaran fundamental itu telah terpahat di sanubari saya. Inget banget siapa yang mengajarkan itu kepada saya: Sabirin dan Arfi.

Kedua mahasiswa bersahabat itu adalah partner saya! Hubungan kami dekat, lebih dari sekedar dosen dan mahasiswa yang mengedepankan sikap “jaga jarak” dan terkesan kaku. Mungkin karena usia kami yang tidak terpaut jauh ya hehehe….(Maklum, saya bisa dibilang adalah dosen sekaligus senior mereka). Saya paling senang jika mereka berkunjung ke ruangan saya. Kami bahkan betah berjam-jam untuk berdikusi apapun mengenai akademik, isu yang sedang hangat, bahasa inggris, masa depan, melanjutkan studi dan tentu saja mengenai agama Islam. Sabirin adalah mahasiswa yang berasal dari Aceh sedangkan Arfi berasal dari Kab. Bantaeng, Sulawesi Selatan. Saya nyambung banget sama mereka! Saya berasal dari Aceh dan pernah tinggal di Sulawesi Selatan selama bertahun-tahun. Sehingga sense of belonging dari masing-masing kami membentuk suatu benang merah utuh yang kuat, solid dan bernilai lebih dari sebongkah berlian. Asik!

Tapi sekarang tidak lagi sama seperti sebelumnya. Sejak kelulusan Sabirin pada April lalu, pemuda berkumis tipis itu sudah tidak lagi muncul ke ruangan saya. Terakhir dia ke ruangan saya untuk pamit dan say good bye karena dia akan melajutkan pendidikan akhirat dan mengejar ambisinya menjadi seorang Hafidz Al-Qur’an di salah satu Pesantren di bilangan Jatinangor. Tak tanggung-tanggung, bahkan pendidikan selama setahunnya itu merupakan Beasiswa full sehingga Sabirin begitu bersemangat. Keinginannya kian bulat. “saya ingin mempersembahkan mahkota syurga untuk orang tua saya, Bu dengan menjadi seorang penghafal Al-Qur’an!” jelasnya penuh keyakinan. Saya merinding waktu itu mendengarnya. Tak terasa ujung mata saya meneteskan air mata. Dalam hati saya berbisik, “kau ciptaan Allah yang istimewa, Sabirin.”

Ketika saya menceritakan niatan Sabirin tersebut kepada Arfi, pemuda mungil hitam manis itu takjub. “Wah, hebat sekali yah Bu! Bangga ane sama Sabirin, Bu.” “Arfi juga akan begitu?” Tanya saya. “Ingin sekali, Bu. Insha Allah. Dalam proses sekarang Bu” Jawabnya tegas.

Pelajaran hidup juga saya dapatkan dari Arfi. Sifatnya begitu sabar dan tenang terpancar sepanjang waktu merupakan hasil dari proses ibadah yang telah dia jalani dengan penuh ketaatan. Setiap kali bimbingan, saya selalu memastikan satu hal padanya, “Arfi, kamu sudah sholat dhuha?” Dengan mantab dia pasti mengganguk sebagai jawaban.
Arfi pemuda sholeh. Tak susah mencari Arfi jika kami sudah membuat janji bertemu namun sosoknya belum juga ada di ruang dosen, karena Arfi pasti sedang berada di mushola. Sedang apa? MENGAJI. Tak pernah saya sangka betapa Arfi menjadi panutan bagi teman-temannya dalam hal beribadah. Selain itu, Arfi sangat santun komunikasinya, sangat baik tabiatnya, sangat indah tutur bahasanya dan tidak pernah menyakiti perasaan saya sedikit pun. Wajahnya memancarkan cahaya ketulusan sehingga bagi siapapun yang memandangnya akan mengusir keresahan. Saya telah membuktikannya!

Ketika Sabirin wisuda, saya sengaja datang untuknya. Ditengah acara, saya bertemu dengan Arfi. Dia kaget melihat saya yang ikut berdesak-desakan sambil memegang setangkai bunga warna ungu. “Arfi, sini!” saya berseru lantang memanggilnya. “Ibu sedang apa?” tanyanya sambil cekikikan melihat tingkah saya bersama salah satu mahasiswa bimbingan saya juga: Putri Meuthia Pratiwi. Dia mendekat. Saya menyerahkan bunga itu kepada Arfi. “Fi, ini kasih nanti buat Sabirin.” kata saya. “Masya Allah, Ibuuu….hahahah” Dia tertawa sambil menggelengkan kepala. “Fi, kamu latihan juga yaah buat wisuda Agustus nanti. Inget, saya pasti akan datang pas Arfi wisuda, plus kasih bunga juga hehehe….” Kata saya. “Amin Bu, amin. Insha Allah. Ane semakin semangat mengerjakan Skripsi, Bu.” Kami berdua pun optimis. Sabtu berkesan!

Tapi hidup adalah skenario tak tertebak milik Illahi. April telah lewat, namun Agustus belum kunjung datang. Sabirin telah pergi, Arfi telah tiada! Gulana merecup di tudung sanubari saya. Kedua partner saya itu tak akan lagi ke ruangan saya. Ruangan saya menjadi hampa, seperti relung hati manusia rapuh ini. Kosong.

Selepas sholat Subuh kemarin, saya malas bergerak. Ke kampus bagi saya sama saja dengan melihat kenyataan yang tak ingin saya lihat! Senin kemarin harusnya menjadi jadwal pertemuan saya dengan Arfi. Di waktu dan tempat yang sama pada Selasa minggu sebelumnya: jam 8 di perpustakaan fakultas. Namun sayang seribu sayang, agenda penting itu tak akan pernah bisa saya “check list” lagi. Selamanya.

Tak kuasa saya lanjutkan tulisan ini, karena mendengar berita duka tentangmu pada Sabtu pagi dua hari lalu terlalu menyesakkan dada saya. Ini terlalu mendadak. Seperti ada yang hancur secara tiba-tiba. Pada kenyataannya, kamu telah menghadap Allah swt, Sang Khalik nan Maha Besar, dan Agustus itu akan tinggal harapan. “Arfi, ane merindukan waktu bersama ente…..”

Berikut ini adalah fotonya Arfi…

13103448_10206154466202418_9200023753994293792_n

13151943_10206154466682430_2409899604221580134_n

Sincerely,

A Lecturer who become your fans!


Leave a Reply