Ketua: Taufik Nur Rahman


Ini adalah Tugas Resume buku Ekonomi Indonesia, oleh Prof. Dr. Boediono, yang dilakukan mahasiswa MK Praktek Bisnis di Indonesia secara berkelompok. Semoga bermanfaat.

BAB I

NUSANTARA DI MASA VOC: ABAD 17 DAN 18

KAWASAN PERDAGANGAN NUSANTARA

500 tahun lalu, Indonesia merupakan kawasan yang terdiri dari sekumpulan satuan-satuan social politik umum berbentuk kerajaaan yang memiliki berbagai derajat kedaulatannya sendiri-sendiri dan penduduk yang menjadi basis bagi satuan-satuan ekonominya.

Indonesia terletak di perlintasan jalur besar perdagangan melalui laut antara Asia dan Eropa, mempermudah siapa pun dari luar untuk datang dan berdagang di sini. Pada awalnya melakukan kegiatan secara garis bebas. Hanya perlu memperhatikan aturan penguasa dan tradisi setempat untuk kelangsungan kegiatan. Dalam perjalan waktu, Karena keunggulan organisasi, teknologi, dan akses informasi pasar, pedagang-pedagang Eropa mendominasi perdagangan besar, terutama untuk jalur Eropa. Pedagang Indonesia sendiri banyak berperan di perdagngan local dan sebagai penghubung antara sentra-sentra produksi dan pedagang perantara. Dalam perkembangan selanjutnya, para pedagang Eropa mulai menggunakan keunggulan organisasi dan militernya untuk mendominasi kawasan ini secara territorial.

Di kawasan ini berkembang dua pusat perdagangan utama: di Selat Malaka dan di kawasan Laut Jawa, mengait jalur besar perdagangan Asia-Eropa. Perdagangan dan pertukaran, sesuai dengan teori ekonomi, mendorong timbulnya spesialisasi produksi di antara ekonomi-ekonomi local berdasarkan keunggulan komparatif masing-masing. Selain spesialisasi produksi, perdagangan juga mendorong timbulnya monetisasi (penggunaan uang sebagai alat tukar). Pada masa itu, tidak ada satu standar mata uang di Nusantara, tetapi berbagai alaat tukar beredar dan dipakai masyarakat secara bersamaan. Ada dua kelompok mata uang yang beredar dalam jumlah besar, yaitu: uang tembaga dan uang perak pecahan besar.

VOC membutuhkan alat tukar dalam jumlah besar untuk membiayai pembelian komoditi dari produsen dan perdagang local, untuk di ekspor ke Eropa. Cara ini ternyata sangat mahal. Oleh Karena itu, VOC mulai mencetak mata uang sendiri untuk dipakai di Indonesia dari logam yang lebih murah. Baru tiga abad kemudian, kawasan ini mempunyai satu standar mata uang, yaitu gulden Hindia Belanda.

DARI MONOPOLI PERDAGANGAN KE PEMERINTAH KUASI

VOC adalah badan usaha yang dibentuk oleh sekelompok pemodal di Belanda pada akhir abad 16 dengan tujuan utama mencari keuntungan. Badan usaha serupa juga dibentuk di negara-negara Eropa lain. Dalam perjalanan waktu, meraka tidak lagi sekedar keuntungan “normal” yang bisa diperoleh dengan berdagang di Eropa dan kawasan-kewasan yang sudah mapan. Mereka ingin keuntungan yang besar dan cepat. Pada masa itu, para penjelajah dan petualang Eropa, dengan kapal-kapal samudranya, menjelajah dunia. Mereka menceritakan bahwa nun jauh disana, ada peluang besar untuk mendapatkan keuntungan besar. Seperti itulah kongsi-kongsi dagang, seperti VOC dan EIC ( East India Company), dibentuk oleh para pemodal yang suka pada kegiatan menjanjikan keuntungan tinggi meskipun berisiko tinggi. Sasaran utama dari kongsi-kongsi dagang itu adalah menguasai daerah-daerah “baru dan terbelakang”, terutama penghasil logam mulia (emas,perak) dan komoditif yang laku di Eropa (misalnya, rempah-rempah). Daerah-daerah yang tersebar di Asia, Amerika Selatan, dan Afrika menjadi ajang persaingan sengit antara kongsi-kongsi tersebut. Pasukan militerdibentuk untuk mengamankan diri dari ancaman kongsi-kongsi lain , tapi dalam praktik lebih banyak digunakan untuk menaklukan penguasa-penguasa local. Kekuatan militer menjadi bagian yang terpisah dari kongsi-kongsi itu. Sejarah mencatat bahwa, persaingan antar bisnis itu berubah menjadi persaingan antar negara untuk mendapatkan tanah jajahan baru. Hamper semua pemerintahan atau negara di Eropa berlomba untuk memperluas tanah jajahannya melalui diplomasi dan perang. Tiga abad dalam sejarah dunia ini, abad 17 sampai 19, adalah masa puncaknya ideologi imperialisme, yaitu semangat negara-negara Eropa untuk memperluas tanah jajahan untuk dieksploitasi demi kejayaan (dan kekayaan) negeri.

Kapal VOC untuk pertama kali datang dan mendarat di Banten pada tahun 1596 untuk membeli barang dagangan, seperti rempah-rempah, untuk dibawa dan dijual di Eropa. Namun, mereka tidak sekedar berdagang, tetapi berniat menguasai sumber-sumber produksi, secara langsung atau tidak langsung. Mereka melakukannya dengan cara “diplomasi” (termasuk adu domba penguasa local) dan, apabila tidak bisa, menggunakan kekuatan militer. Itulah yang mereka lakukan secara bertahap, selama dua abad sejak mereka menginjakkan kaki di Nusantara.

Strategi mereka berhasil. Produksi pala di Banda dikuassi VOC dan dikelola sebagai perkebunan (1621), produksi dan perdagangan cengkih di Ambon dimonopoli (1656), dan kemudian para penguasa di pantai utara Jawa ditundukkan dan diwajibkan menyetor hasil buminya kepada VOC. Bagi daerah-daerah yang belum bisa ditundukkan, dilakukan “kerja sama” dengan penguasa setempat, seperti membuka perkebunan kopi di daerah Priangan, yang ternyata merupakan “model bisnis” ynag menguntungkan dan tahan hidup lebih dari dua abad.

Pada akhir abad 18, daerah kekuasaan VOC mencakup sebagian besar Jawad dan Maluku serta beberapa pos dagang di Sumatra, Kalimantn, dan Sulawesi. Dengan penguasaan teritori yang makin luas, beserta penduduk di dalamnya, VOC mendapatkan sumber penghasilan baru selain perdagangan, yaitu pajak dan berbagai pungutan terhadap penduduk di daerah kekuasaanya. Dengan mengenakan pajak dan pungutan-pungutan lain, VOC sudah bertransformasi, dari sekedar kongsidagang menadi semacam “pemerintahan kuasi” suatu negara.

Di kawasan yang dikuasainya, VOC umumnya meneruskan sistem pajak dan pungutan yang sebelumnya diterapkan oleh penguasa setempat, seperti pajak kepala, pajak kepala, pajak atas lalu lintas perdangangan, dan lain lain. Tetapi, VOC juga melakukan inovasi baru seperti mengenakan pajak in natura pada sejumlah komoditi ekspor dan candu.

Ada cara yang khas, dan verdas, bagaimana kongsi dagang dnegan jumlah personalia yang terbatas ini mengelola teritori yang dikuasainya dan yang dibawah pengaruhnya, yaitu dengan memanfaatkan secara maksimal peran penguasa local dan birokrasiny. Praktik ini, dengan versi yang lebih canggih, berlanjut sampai pemerintaan kolonial Belanda, di abad 20, VOC sendiri tidak memiliki aparat untuk melakukan pungutan itu. Dalam melaksanakan pemugutan pajak pajak itu, VOC mengandalakan pada kerjasama atau melauli sistem subkontrak dengan penguasa local. Kegiatan -kegiatan terterntu, seperti pungutana atas candu yang sangat menguntungkan dan pungutan atas perdanganan hasil bumi, disubkontrakkan kepada pedangan Cina, yang pada msa itu sudah memiliki jaringan luas di daerah di Jawa.

“Pemerintahan” zaman VOC adalah contoh sitem yang murni bersifat ekstraktif, yaitu menggunakan seluruh kemampuan bisnis dan kewenangan publik yang ads ditangannya untuk menyedot surplus ekonomi semaksimal mungkin dari kawasan yang dikuasainnya. Sama sekali tidak ada pertimbangan mengenai apa nasib mereka yang hidup di sana. Dalam sistem, tidak pembedaan antara kewenangan korporasi dan kewenangan public, antara kepentingan penguasa dan pengusaha. Semuanya menyatu dan digunakan untuk mencapai satu tujuan, yaitu dan digunakan untuk mencapai satu tujuan, yaitu menyedot surplus ekonomi secara maksimal dari daerah itu sistem ekstaktif murni. Ironisnya, dengan sistem yang seharusnya sangat meguntungkan ini, VOC akhirnya bangkrut Karena rugi. Pada akhir abad 18, seluruh asset dan teritori VOC diambil alih oleh pemerintahan Belanda.

Dua Abad Bersama VOC

Penduduk dan Pertumbuhan Ekonomi. Secara kongkret, daya Tarik utama Indonesia bagi VOC adalah (a) melimpahnya tanah yang potensial dapat dijadikan lahan pertanian, dan (b) sekaligus tersedianya tenaga kerja murah yang cukup untuk mengerjakannya dua sarana produksi yang sangat langka di negeri asalnya. Sekitar tahun 1600. Penduduk Indonesia diperkirakan berjumalah sekitar 10 juta, diantaranya 4 juta hidup di Jawad an 2,5 juta di Sumatra. Rata rata sekitar 0,2% pertahun. Tingkat kelahiran tinggi tapi diimbangi dengan tingkat kematian yang tinggi pula sebagai akibat dari wabah penyakit, kelaparan, perang, dan bencana alam.

Sebelum VOC datang, tanah dan tenaga kerja dikuasai oleh pafa penguasa local. Oleh karena itu , cara yang paling murah dan tenyata efektif bagi VOC untuk menguasai pemanfaatan sumber daya tersebut adalah dengan bekerja sama atau dengan mempengaruhi penguasa penguasa local tersebut. Dengan imbalan atau ancaman, VOC mendorong para penguasa local unruk mengeksploitasi tanah dan penduduk dibawah kekuasaannya secara lebih intensif untuk memproduksi lebih banyak komoditi yang diminati VOC.

VOC dengan cerdas menggunakan tradisi dan sistem feodal yang ada, yang mewajibkan penduduk untuk menyisihkan sekian hari kerja setiap siklus pertanian untuk dipekerjakan, tanpa gaji, oleh tuan tanah atau penguasa setempat. Ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan yang panjang selama 1450 sampai 1680. Setelah itu (1680-1750), terjadi staknasi dan bahkan penurunan kegiatan ekonomi Karena pertikaian dan peperangan dan kemungkinan juga Karena kejenuhan sistem monopoli perdangangan VOC. Setelah itu (1750-1820), kegiatan ekonomi mulai marak kembali, antara lain Karena makin meluasnya jaringa infrastruktur, penerapan teknologi dan produk baru disektor perkebunan.

Pertumbuhan dan kesejahteraan. Masa VOC memberikan satu pelajaran penting bagi kita adalah menginterpretasikan angka angka statistik, yaitu bahwa pertumbuhan ekonomi, dalam arti meningkatnya produksi suatu kawasan, tidak selalu berarti kesejahteraan penduduk dikawasan itu meningkat. Produksi dari berbagai produk utama dikawasan ini meningkat, tetapi sebagian terbesar manfaatnya di nikmati oleh VOC, para penguasa local dan perangkatnya.

Pertumbuhan dan kemajuan. Perekonomian maju adalah apabila perekonomian itu mampu tumbuh secara berkelanjutan dalam jangka  panjang berdasarkan jangka produktifitas yang berkelanjutan. Diukur dengan kriteria ini, perekonomian nusantara tidak berhasil maju meskipu mengalamii masa masa pertumbuhan yang panjang dalam kurun dua abad. Mengapa? Jawabannya kembali kepada sistem ektraktif yang tidak memberi peluang bagi perkekonomian untuk memenuhi kriteria kemajuan tersebut

Dalam sistem ekstraktif murni, institusi institusi yang terbentuk atau yang dibentuk hanya mengalami satu tujuan, yaitu untuk memaksimalkan nilai “surplus” yang disedot dari ekonomi loal untuk ditransfer ke VOC.

 

Penilaian:

Tim ini telah menjabarkan dengan sangat baik mengenai Perekonomian pada masa Abad ke 17 dan 18. Namun sayangnya, tidak banyak data yang dipaparkan karena lebih fokus pada penjelasan deskriptif. Terus terang, poin per poin nya telah di highlight dengan baik. Hanya saja, masih ditemukan banyak sekali typo. Sebaiknya hal tersebut dihindari pada tugas berikutnya ya. Overall, good job students! You got 85 for your effort!


Leave a Reply