Puisi untuk Direnungkan: Rekonstruksi Filosofi Zahra


Pemikiran beradu bersama takdir di denyut bulunadi

Perasaanku seperti tergantung di ujung langit

Gelisah meliput hati terdalam,

Ditambah atmosfir terlalu dingin untuk menusuk aliran darah, hanyut…

Terapi sujud pun menyilang diantara sajadah benang sulam emas, ole-ole dari Mekkah

Menyuguhkan rasionalitas akan takdir manusia.

Ya Rabb,

Kusadari setulus hati bahwa

Aku telah menilai doa Ibuku hanya bermodal nalar ukuran 5 centi

Sehingga pertarungan tumpukan emosi meluap-luap membahana hingga sumsum

Kusadari setulus hari bahwa…

Aku telah membungkus sangkaan Ibuku

Hanya bermodal pengalaman musim hujan bulan Februari,

Sehingga perbandingan aku dan bungsu serta tengah,

Mengukir kekeliruan ke pusat ubun-ubun berlarut-larut

Kusadari setulus hati bahwa…

Kewajiban ini hanya dijalani bermodal sehelai ukiran nama diatas seragam semata

Sehingga muncul pertanyaan akan filosofi posisi ini:

Apakah berbakti atau mengabdi?

Dan kusadari setulus hati bahwa…

Kekhilafanku mengartikan makna dinamika hidup ini,

Telah meretakkan impian Ibu dalam satu malam. Nyaris musnah!

Ya Rabb,

Hamba hanya sebutir Zahra di gelaran bumi agung-Mu

Tak pantas mengajarkan manusia lain akan arti ketulusan dan pengorbanan,

Namun, harus kuakui…

Ibuku adalah jawaban pertama manakala penasaran merisak benakku,

Ibuku adalah penyanggah paling berharga,

Ketika tangisku meluap tiada tara

Ibuku adalah mutiara yang terkubur tapi tetap menawan,

Yang jika ditimbang, kadanya tetap seratus persen

Ibuku, yang dengan kesabarannya,

Selalu mengusap punggungku untuk berkata, “sabar sayang”

Mata sayunya pun memekarkan bunga harapan dari setatap benih kasih sayang

Dalam desah nafas ini kucoba untuk merekonstruksi filosofi posisi,

Menuju pilar kemuliaan sebagai sebutir Zahra

Sebagai soerang darah daging dari wanita

Melalui doa tulus yang terkirim melalui sinar bulan purnama:

“Ya Rabb,

Jika masih panjang umurku,

Aku mau Engkau mencatat segala amal jariyah dan penen sedekahku hanya untuk Ibu,

Agar kelak dapat membantu timbangan Ibu di hari Hisab-Mu,

Sehingga Kau persilahkan Ibu mendiami surga abadi-Mu. Amin gusti Allah.”

Aku lega untuk menyambut kembali tangan hangat Ibu,

Seperti bumi yang selalu lapang dada menerima tumpahan hujan,

Tetes demi tetes.

 

Sincerely,

A daughter who loves her parents


Leave a Reply