Babak Akhir Nestapa Tilu


Setiap kematian akan tergantikan oleh kehidupan yang baru! Aku menyadari rotasi alam tersebut, walaupun jeda waktu antara keduanya harus berlangsung cukup lama. Limabelas tahun! Itulah waktu yang harus dilalui olehku dan keluarga untuk dapat mengerti apa sebenarnya makna dari sebuah kehidupan.

Hari itu adalah hari kelahiran bayi pertamaku. Air mataku menetes perlahan. Air mata bahagia, atau memang sudah tiba saatnya mata ini berair setelah sekian lama mengering. Aku menjauhi pintu, dimana ruangan di dalamnya dipecahkan oleh suara tangis bayi yang nyaring. Aku merinding. Aku bergetar. Aku belum siap karena tak ada yang menguatkanku, selain Kak Nur, kakak sulungku. Pandanganku menembus tebalnya kabut dini hari. Aku mencoba menerawang penyebab kegelisahan batinku.

Apakah kehidupan baru ini bisa menyembuhkan lara dan nestapaku, dimana selama ini hanya setia menggantung di ujung langit, tak mau turun menerima kenyataan pahit? Dimana perasaan bersalah juga ikut menghantuiku selama belasan tahun tanpa ada harapan untuk bisa termaafkan. Selalu menjadi bayangan kemana pun aku melangkah. Bayangan gelap. Entahlah.

Aku mencari tempat duduk untuk termenung di taman Rumah Sakit Bersalin. Udara menusuk lapisan terdalam kulitku. Duniaku runtuh. Tanah tempatku berpijak seketika bertransformasi menjadi tanah liat, dimana aku dapat ditelan kapan saja. Aku duduk. Aku bangkit. Aku duduk dan kemudian bangkit lagi. Ketakutan merambak, menyebar ke setiap sudut hatiku. Ada apa ini? Diriku seperti terbagi menjadi dua. Sisi sebelahnya mengucapkan syukur tiada henti karena diriku masih termasuk manusia yang dianugerahkan buah dari cinta sejatiku dan Ana. Kini aku memiliki seorang anak. Akhirnya aku menjadi seorang ayah, bapak atau apapun istilahnya. Bukankah hal itu seharusnya membuatku bahagia dari ujung kaki hingga ujung kepala? Baik, alhamdulillah…

Namun sisi lain dari diriku justru dirundung ketakutan. Kesepian akut pun perlahan menyelangkupi batinku. Hatiku tiba-tiba terasa hampa. Apa yang kukhawatirkan sebenarnya? ‘kau takut anakmu tak berbakti padamu!’ itulah bisikan makhluk yang bernama alam bawah sadar. Berbakti? Aku seperti disetrum listrik ribuan watt ketika menyadari suku kata tesebut. Benarkah itu?

Kucoba analisa sebisaku tanpa ilmu tinggi. Aku bapaknya. Aku ayahnya. Aku yang bertanggung jawab atas kehidupannya, agamanya, moralnya dan intelektualitasnya. Apabila aku gagal memenuhinya, dia berhak menuntutku. Sang pencipta pun akan melakukan hal demikian. Lantas apa yang kuharapkan padanya sebagai imbalan? Bukan harta. Bukan rumah. Tidak yang berbau materi atau kebendaan. Tetapi sebuah kalimat ‘berbakti’. Itu benar! Aku ingin anakku berbakti padaku dan Ana. Tetapi apakah aku harus ‘menuntut’ apabila dia gagal memenuhinya? Apakah aku atau Ana berhak marah? Aku terdiam seribu kata. Aku tak mampu menemukan jawabannya secara akurat.

Kulirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Pukul 03.15 WIB. Mataku menangkap pergerakan jarum detik berputar sesuai porosnya. Detakan jam seolah-olah mengajakku kembali ke masa silam. Masa dimana aku salah memaknai posisiku, menyalahi apa yang seharusnya kubaktikan. Kesalahan yang seharusnya tidak membawa dampak massif padaku.


“nanti Ayah beli untuk Tilu, tapi jangan sekarang!” suara Ayah bergemuruh di rumah kami yang mungil. Wajah Ayah begitu kelelahan.

Aku ngambek. Kuhentakkan badanku ke tempat tidurku. Seprei dan bantalnya sengaja kuacak-acak. Aku hanya mendengar suara mama yang setengah mengomel, bercerita kronolgi ngambekku kepada Kak Nur dan Kak Nina. Keduanya justru saling bersautan dalam menambah argumen yang serupa. Aku kesal. Sebal pada Ayah dan mama. Juga pada Kak Nur dan Kak Nina. Mereka sok tahu!

Kuingat kala itu alasan ngamekku hanyalah masalah sepele. Mainan.

“udahlah, Dek. Kasihan Ayah kecapean!” Kak Nina membujukku. Tapi bukannya patuh, aku malah menutup wajah dengan guling. Kak Nina berlalu.

Aku akhirnya mengambil remote tv dan sibuk menonton kartun kucing dan tikus. Kubesarkan volume-nya hingga terdengar nyaring seisi rumah. Ayah masih tidur di kamar. Mama masih berkomentar ini dan itu bersama kakak-kakakku di ruang tamu. Kebetulan Kak Aya, kakak ketigaku, masih ada pengajian di rumah gurunya hingga sore hari.

“TILU!!!! Suaranya kecilin! Ayah sedang tidur! BERISIK!!!!” Kak Nur berteriak. Aku takut. Volume pun kukecilkan. Tapi tak sampai semenit, aku kembali beraksi. Kali ini tak tanggungu-tanggung.

 “TILU!!! Bandel banget sih! Ayah lagi tidur, suaranya kecilkan. Jangan ngambek atuh!!!!” kali ini Kak Nina yang berteriak. Biji matanya hampir keluar. Tapi aku acuh. Mataku masih merambat lurus ke layar tv.

Kedua kakakku menyerah menghadapiku. Aku bangkit dan menuju kamar mandi. Kubanting pintu kamar mandi dengan sekuat tenaga. Untuk usiaku yang masih 10 tahun, aku sudah punya kekuatan membanting pintu, hingga engselnya lepas. Semua orang terkejut.

“TILU!!!!!” Kak Nur bak petir yang menggelegar.

Aku ngambek karena Ayah tak membelikanku mainan, padahal Ayah janji selesai senam di kawasan Car Free Day, dia akan membelikan mainan. Tapi karena tak ada yang cocok, aku mengajak Ayah ke sebuah toko. Ayah menolak. Akhirnya Ayah dan mama justru mengajak naik angkot. Pulang.

Mana aku mengerti kata ‘nanti dibelikan’. Aku tak paham seruan ‘itu mahal’ dan aku tak mau ‘kita beli di pasar saja’. Hingga kekesalanku semakin meledak. Tanpa sadar aku justru mengusik Ayah yang sedang tidur kelelahan. Beliau terbangun. Kepalanya agak sempoyongan. Tanganya yang gendut mengambil sesuatu dari atas meja. Kunci motor.

“Ayah mau kemana?” tanya Kak Nur.

“Ayah mau jalan-jalan saja! Soalnya di rumah Tilu ngambek melulu.” ujar Ayah sambil meminta diambilkan helm kepada Kak Nur.

Semenit kemudian Ayah sudah meninggalkan pekarangan. Pasti Ayah mau beli mainan, batinku gembira.

“itu Ayah mau kemana, Mah?” tanya Kak Nina. “kan baru bangun.”

“iya, nggak tahu mau kemana.” jawab Mama bingung. “mungkin mau beli mainan. Tuh untuk Tilu.” tambahnya sambil melirik ke arahku. “Tilu mah nggak sayang Ayah. Sudah tahu Ayah kecapean, malah ngambek-ngambek aja. Jadinya Ayah pergi, padahal masih ngantuk tuh. Kasihan Ayah”

“mudah-mudahan Ayah selamat , Mah.” Celetuk Kak Nina. Deg!

Ayah memang masih belum sadar betul dari lelapnya. Seisi rumah khawatir. Takutnya Ayah mengalami kecelakaan di jalan. Aku ikut cemas. Kutunggu Ayah di depan halaman. Sedetik. Semenit. Sejam. Sejamsetengah. Dua jam. Hingga duajam lebih limabelas menit. Ayah tak kunjung pulang. Suara motor di ujung gang pun, tak kunjung terdengar. Kemana Ayah?

PRANG!!! Tiba-tiba gelas kesayangan Kak Nur pecah. Dia mengaku tidak sengaja memecahkannya. “aduh, ada apa ini Mah?”

“loh, kenapa bisa pecah?” tanya Mama. Wajahnya terlihat tegang.

“kok Nur khawatir sama Ayah mah.” katanya sambil memunguti pecahan beling di dapur. Mama dan Kak Nina saling pandang. Diam-diam aku pun takut.

“ahh, kakak mah. Jangan ngacoh deh! Mudah-mudahan Ayah selamat.”

Hingga akhirnya Kak Nur memohon kepada Mama untuk segera menelpon Ayah. Menanyakan kemana Ayah pergi. Kenapa belum pulang? Aku dirundung murung. Apakah ini salahku? Belum pernah aku khawatir tingkat tinggi seperti ini. Kak Nur dan Mama belum juga mendapatkan kabar. Ayah, cepatlah kembali.

Jarum jam tepat diangka duabelas siang, motor merah Ayah muncul di mulut pagar. Dia mengklakson minta dibukakan garasi. Lega. Wajah tegang kakakku dan Mama sirna. Begitu pun aku. Kak Nur berlari mengambil kunci pagar. Dia langsung menginterogasi Ayah. Lelaki berkulit gelap tersebut hanya tertawa lebar dan mengatakan bahwa dia sedang ngidam seekor burung jadi membelinya di pasar induk.

“uh, Ayah! Kita pikir Ayah kemana.” kata Kak Nur pura-pura sewot.

“Ayah mau beli burung, supaya rumah tidak terlalu sepi. Ini lihat!” kata Ayah sambil memamerkan kandang burung ukuran sedang, dimana seekor burung asyik melompat-lompa pada keempat sisi kandang kayu tersebut.

Mana mainannya? aku celingak-celinguk mencari kantong plastik hitam atau putih. Berharap ada mainan di dalamnya. Tapi nihil.

“Ayah nggak beli mainan?” tanya Kak Nina seperti membaca pikiranku.

“Mana sempat beli mainan. Ayah kan sibuk beli burung.” jawab Ayah ringan. “besok Ayah dan Mama ke supermarket saja.”  Aku kecewa lagi.

Seharusnya aku lega Ayah pulang dengan selamat. Artinya memang hanya dia yang ingin kulihat. Tapi, sisi kekanank-kanakkanku menunjukkan sebaliknya. Wajah cemberut masih kupasang hingga aku menolak untuk makan siang. Akhirnya Ayah dan Mama menyerah. Keduanya memutuskan untuk pergi ke supermarket sore itu juga. Aku luluh dan mau melahap nasi beserta lauknya.

Belum lama meninggalkan rumah, tiba-tiba ada tetangga yang membawa kabar buruk. Berita yang menghancurkan perasaan Kak Nur, Kak Nina dan Kak Aya. Perasaanku? Remuk!

“di persimpangan jalan ditabrak truk. Keduanya meninggal di tempat!”

Sepasang kilau meredup manakala jasad telah lenyap dari lingkaran keluarga kami. Tangis pecah. Nelangsa berselarak di hamparan hati ketiga kakak perempuanku. Berlahan tapi pasti itu sangat menyiksa. Tak ada lagi Mama di dapur. Tak ada yang akan mengurus burung yang baru dibeli. Dunia berlahan membeku. Kepingan hati berserakan, tercecer bersama lumuran darah di atas aspal. Kupandangi Ayah dan Mama yang sudah terbujur kaku. Lantunan ayat suci Al-Qur’an menggema, pertanda bahwa manusia tak pernah berdaya melawan takdir. Keduanya meninggalkan kami tanpa persiapan.

Kak Nur baru selesai kuliah, belum bekerja. Kak Nina masih kelas dua SMK, belum lulus. Kak Aya masih kelas enam, belum Ujian Nasional. Aku kelas empat, belum banyak berbakti kepada Ayah dan Mama. Apakah sisa umurku akan ditaklukkan rasa penyesalan? Aku anak laki-laki seorang, tapi aku gagal.

“ini semua gara-gara TILU!” Kak Aya mencerca. Dia mogok bicara padaku, kupikir hanya sehari. Ternyata tiga bulan. Dia tak menyapaku di sekolah. Aku tak dianggap adik olehnya. Kak Nina juga tak mau memandangku. Rumah mungil itu kini kehilangan pemimpin dan pengayom, dalam waktu bersamaan.


Kesedihan merencup di ujung sanubariku. Aku tak kuasa menahan rinai airmata yang tak terbendung sama sekali. Badanku terguncang. Tenggorokanku tersendat. aku tersungkur di atas rumput taman. Cukupkah dengan ini berarti aku telah membayar penyesalan di masa lalu. Babak demi babak. Untuk menghapusnya, hanya dengan satu cara, yaitu mengatakan bahwa aku tak ingin mereka pergi. Aku tak mau mainan! Namun, itu mustahil. Aku kehilangan momentum tersebut. Selamanya. Aku menangis tersedu-sedu. Inikah air mata yang mengering selama lima belas tahun? Mengapa terasa sesak?

Tiba-tiba seorang wanita tigapuluhtujuh tahun mendekatiku. Menepuk bahuku yang masih gemetaran.

“selamat ya, Dek! Bayinya laki-laki. Ganteng mirip kamu!” ujarnya dengan mata yang memancarkan kegembiraan tak terhingga. Maklum, keponakan pertamanya yang berjenis kelamin laki-laki baru saja hadir untuknya. Aku masih hanyut dalam senduku.

“Dek.” Kak Nur tiba-tiba merangkulku. Dia duduk di sampingku.

Aku menoleh padanya. “Kak…” aku menggigit bibir. “Tilu rindu sekali pada Ayah dan Mama!” kataku lirih. “Tilu rindu ingin bertemu…” aku terbata. “tahukah mereka bahwa sekarang Tilu sudah punya seorang anak laki-laki? Tilu sudah menjadi ayah seperti Ayah!”

Dia terdiam. Kami berdua hanyut dalam pikiran masing-masing. Tangannya yang hangat membelai rambutku. Aku bergetar. Aku semakin menangis, dia pun menangis. Kujatuhkan tubuhku padanya. Dia menerima tubuhku dengan lapang dada. Aku sendu di dalam dekapannya sambil memejamkan mata.

“Kak, mohon maafkan Tilu!” aku lirih menatapnya. Matanya yang sudah lelah mengurus ketiga adiknya yang yatim piatu sejak dini, tak memperlihatkan amarah sedikit pun. Dia menggeleng.

“ini sudah takdir, Dek. Kakak yakin, kita masih bisa berbakti lewat doa dan amal untuk mereka.” katanya. Dia menegakkan bahuku. Aku mengangkat kepala, mencoba tegar. “jangan sedih ya! Tak ada yang perlu dimaafkan.” tambahnya.

Lewat hembusan angin, kurasakan  kehadiran Ayah dan Mama seperti ikut membelaiku seraya mengucapkan selamat atas kelahiran putraku. Penyesalanku menguap tanpa beban. Keikhlasan menghiasi langit pagi, diiringi suara adzan subuh yang telah merambat hingga ke partikel terkecil. Kakak beradik beranjak menunaikan ibadah kepada Illahi, sang pemilik kehidupan dan kematian abadi.


Leave a Reply