Bangku Di Sebelah Andasie


Aku jatuh cinta? Aku tersenyum. Membayangkannya saja sudah membuatku geli setengah mati. Aku merasakan apa yang dirasakan teman sekelasku yang tergila-gila kepada siswa kelas sebelah. Aku? Bisa jatuh cinta? Aduh…malu rasanya. Tapi mau!

Sejak kapan aku bisa merasakan yang namanya bunga-bunga asmara ala anak sekolah? Sejak kemarin sore? Aku tertawa lepas seorang diri. Lalu tersipu, bisakah kalian melihatnya? Saat ini aku begitu bersemangat ke sekolah. Mungkin karena aku sedang jatuh cinta dengan seseorang? Bisa ya, bisa juga tidak. Setidaknya itulah yang kubaca dari sebuah majalah remaja terkenal Ibu Kota.

Jadi kapan pastinya aku mulai melirik siswa cowok untuk dinanti-nanti kehadirannya? Entahlah. Mungkin saja sejak aku marah pada Ayahku dan menolak untuk diantar-jemput lagi olehnya. Aku tersinggung atas ucapan Ayah yang mengatakan aku hanya beban baginya. Mengganggu jam kantornya, yang mana sudah bercerai dengan ibuku. Mungkin sejak aku memutuskan untuk berlangganan bus sekolah baik untuk pergi dan pulang sekolah agar dikatakan mandiri. Atau mungkin sejak aku pertama kali melihatnya dari bangku seberang, sedang tertawa dan bercanda dengan teman wanitanya seperti saat ini? Mungkin keseluruhan itu benar. Yang pasti, aku berterima kasih atas kronologi panjang yang membawaku ada di sini. Di dalam bus sekolah: baris ke dua dari belakang, sebelah kanan, bangku dekat jendela. Aku ingin tetap di sini, menyambutnya dan kemudian melihatnya turun lalu melambai padanya. Aku juga ingin menyita perhatiannya, ditengah diskusimu yang alot mengenai makna demokrasi.

“di sini ada orang?” tanya siswi berkerudung putih tiba-tiba. Aku tersentak kemudian menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaannya.

“oke, aku di sini ya!” tukasnya sambil membenarkan posisi kacamatanya yang turun. Kali ini aku menggangguk pasti. Dia pun duduk di sampingku.

“hari ini panas pisan euy!” dia mencoba memecah kesunyian ketika bus mulai melaju di jalan raya kota Bandung. Kubalas dengan anggukan kecil. “oiya, kayaknya aku baru lihat kamu. Siswi baru ya? Aku Anita.” telapak tangannya terbuka lebar. Kusambut tangannya dan kutunjukkan papan nama yang terpasang di dada sebelah kananku. Dia membaca berlahan setengah mengeja.

“An-da-si-e…singkat ya namamu.” katanya. Aku menggaguk sambil mengembangkan senyum manis untuk sahabat baruku ini. Bus pun akhirnya melaju dengan tenang. Memecahkan keramaian dan kepadatan arus lalu lintas di tengah matahari yang sedang galak menyinari bumi. Bus, kau yang terbaik!

“aku turun duluan ya! Da-dah …”Anita pamit. Aku pun menggoyang-goyangkan telapak tangan berarti ‘sampai jumpa, terima kasih atas perbincangannya hari ini’. Dia berlalu begitu saja, lepas dari balik jendela bus sekolah. Kendaraan pun kembali melaju mulus di atas aspal.

Selang duapuluh menit kemudian, bus berhenti di depan rumah mewah dengan pagar bercat biru. Jantungku berdebar-debar. Kurapikan seragamku. Poni rambutku ikut kususun dengan baik. Aku tak sabar.

“aku duluan ya, Tia…senang bisa berdiskusi denganmu. Kapan-kapan kita lanjut lagi ya. Dah!” dia beranjak dari kursi dan berjalan menuju pintu untuk turun. Mataku tak mau ketinggalan momen berharga ini. Aku mengembangkan senyum, entah untuk menarik perhatiannya atau hanya formalitas. Dia pun berdiri di sisi kiri bus. Aku memanjangkan leher, mencoba menangkap sosoknya yang berdiri gagah.

“daaahhh….” dia melambai setinggi-tingginya. Kuangkat tangan rendah, ingin membalas ‘dah! Besok jumpa lagi ya’ tapi gagal karena terhalang teman wanitanya, Tia. Dia hanya bisa menjiplak ucapanku.

“eh, Tia. Siapa dia? Suit..suit..” suara dari kursi-kursi di belakang mengusik. Tia pun merona. Aku iri.

“namanya Kak Diaz, kelas VIII.” jawabnya. Tak lama kemudian, aku akui para gadis-gadis mulai menyusun misi untuk menarik perhatian sang Ketua Osis itu juga. Gawat, aku ada saingan!


Jadi namanya Diaz. Terdengar gagah. Aku sedang membayangkan seorang raja di jaman kaisar Romawi yang begitu terampil berperang. Dia berpakaian kebesarannya sambil menunggang kuda hitamnya. Dia memimpin peperangan dan akhirnya menang. Hebat!

Tiba-tiba lamunanku buyar. Dia naik. Tas ransel hitamnya mulai dilepaskan dari punggungnya. Dia berjalan lambat. Dia mencari bangku bus yang masih kosong. Matanya menyapu seluruh isi kendaraan. Ke kanan. Ke kiri. Ke kanan dan ke kiri lagi. Bibirnya sibuk memastikan ‘apa di sini sudah diisi?’. Aku canggung ketika jarak kami tinggal beberapa langkah. Matanya menangkap bangku kosong tepat di sampingku. Aku telah duduk di sini; baris ke dua dari belakang, sebelah kanan, bangku dekat jendela. Hatiku semakin bergetar ketika siswa berkuncir ekor kuda di depanku menolak mengosongkan bangku di sebelahnya. Itu untuk temannya. ‘maaf ya’ dia berujar. Akhirnya, dia menghampiriku. Aku kikuk. Hampir pingsan karena dia menunjuk…

“Das! Di sini masih kosong kan? Untukku ya!!!” Anita muncul dari sisi belakang secara tiba-tiba. Aku mematung.

Tanpa pikir panjang, Anita pun langsung duduk di sebelahku. Kutatap Diaz yang salah tingkah. Dia pun akhirnya hanya melemparkan senyuman dan berlalu tanpa sepatah kata. Aku serba salah, tapi aku tak bisa berbuat banyak. Tak lama, Anita pun mulai curhat mengenai ulangan Matematikanya yang mendapat nilai jelek. Sambil mendengarkan Anita, perasaanku masih kesal karena aku kehilangan kesempatan untuk bisa lebih dekat dengannya.

“Das, besok-besok kita bareng aja ya duduknya!” ujar Anita.

Apa? Aku bingung. Tak tahukah dia bahwa pujaanku hendak duduk di sebelahku, jika saja dia tak ada. Tak mengertikah dia bahwa masih ada harapan besok dan besok serta besok pujaanku akan duduk di tempatnya duduk sekarang? Tepat di sampingku. Tapi keramahannya memang tak bisa kubohongi. Sejak awal kenal dengannya, Anita begitu baik padaku. Terlebih lagi dia mau menerimaku apa adanya, tanpa mempermasalahkan kelemahanku. Sedikit pun. Dia contoh teman yang setia dan konsisten. Aku tak semestinya menggeleng. Aku pun mengangguk tanda setuju pada ajakannya. Aku harus bisa menghargai orang lain, begitulah nasihat ibuku yang selalu terngiang.

“sip! Kalau perlu di kasih tanda di sini, ini bangku untukku dan ini untukmu! Hahah…”tawanya. Aku hanya tersenyum, dibalik kepasrahan.

Sesuai kesepatakan, di hari-hari berikutnya aku dan Anita selalu bersama di bus. Dia yang duduk duluan, atau aku yang duduk duluan. Dan di hari-hari berikutnya pula, Diaz hanya berlalu melewatiku tanpa menoleh sedikit pun. Dia mungkin sudah paham bahwa bangku kami satu paket, tak bisa dipisahkan. Sesekali aku mencoba memancingnya dengan menyambutnya di pintu masuk. Tapi dia tak terkecoh sama sekali. Dia hanya berjalan menuju bangku-bangku yang masih kosong, setelah melihatku.

Di sisi lain, persahabatanku dengan Anita pun semakin dekat. Tidak hanya di bus, di perpustakaan, di kantin dan di lapangan upacara pun, aku menunggu-nunggu kehadirannya. Anita juga mulai mengerti diriku. Bahasaku. Keinginanku. Ungkapanku. Dan penolakanku, walau dia harus berusaha sangat keras. Tapi apakah aku melupakan Diaz? Tidak sama sekali, bahkan walau hanya sedetik. Aku pun tahu dia telah mencukur ujung rambutnya sehingga ketampanannya semakin terpancar memukau. Semua mikrokosmos diriku adalah tentang dia. Hanya dia. Maniskan?

Jika orang bilang cinta butuh kesabaran, aku setuju! 100% setuju. Kesabaran yang kutabung selama ini, sejak jatuh hati padanya, akhirnya berbuah lezat. Suatu hari Anita mengeluarkan penyataan bahwa dirinya tidak lagi akan naik bus sekolah. Ayahnya baru saja membelikan sebuah sepeda motor untukknya. Jadi dia telah punya kendaraan pribadi. Sebenarya, aku kehilangan teman baik. Tak ada lagi yang akan mengomentari ini itu ketika pulang sekolah. Tak ada celotehnya lagi. Aku terserang kesepian mendadak. Namun, aku juga senang. Itu berarti masih ada harapan untuk menyiapkan bangku kosong untuk siapa lagi selain Diaz. Kalau-kalau dia membutuhkannya! Aku tersenyum optimis.

Seperti siang ini, bus telah terisi. Ada beberapa siswa yang biasanya tidak naik bus, kini ikut menumpang di bus. Tia pun telah ditemani oleh orang lain. Bangku di sebelahku masih kosong. Di belakang pun masih ada satu yang kosong. Aku tak sabar menunggu Diaz akan memilih yang mana. Ekor mataku menangkap seseorang berlari kencang dari arah ruang Guru. Dia menggenggam erat ranselnya. Kemudian naik ke bus. Matanya langsung saja menyapu semua bangku. Wajahnya sedikit kecewa mendapati bus penuh sesak.

Aku mencoba acuh. Kupalingkan wajahku ke luar jendela, mencari titik fokus untuk dipantau. Kulihat Anita berlalu dengan motor merah barunya. Dia menerobos keramaian para penjemput di mulut gerbang.

“permisi, di sini masih kosong?” akhirnya! Aku menoleh. Aku grogi. Mataku melihat ke bangku kosong di belakang. Diaz heran. Aku hanya memastikan, apa Diaz tidak memilih yang di belakang? Ternyata siswa berbadan bongsor sudah duduk di sana, anteng dengan cemilan di tangannya.

“kosong kan?” dia kembali bertanya. Tasnya sudah tak sabar ingin diletakkan, mungki karena berat. Aku mengangguk. Mengangguk. Sekali lagi mengangguk. Sangat senang menggangguk.

“temanmu itu sudah punya motor ya? Jadi dia tak naik bus lagi.” celetuknya. Aku mengangguk berlahan. Bibir tipisku kulipat ke dalam.

Dia sangat dekat denganku kini. Sejengkal dari posisiku saat ini: baris ke dua dari belakang, sebelah kanan, bangku dekat jendela. Sebutir bahagia merengat di pelupuk mataku. Aku seperti ingin menari-nari di atas awan. Bermain dengan bunga-bunga mawar, memetiknya untuk pujaan hati. Berdiri di ujung tebing, lalu berteriak ‘Diaz! Bisakah seterusnya kau duduk di sampingku?’ lalu menggema hingga ditangkap oleh daun telinganya. Aku berandai-andai semakin liar.

Kami masih terdiam satu sama lain. Bus mulai melaju di jalan raya, bertuliskan nama pahlawan nasional, Jl. Diponegoro. Apakah dia tak tertarik bicara denganku? Sedih menyapa sanubariku. Aku menarik napas panjang dan menunduk. Kumainkan tali tasku. Tak berani menoleh ke kiri. Sepuluh menit masih diam. Limabelas menit. Duapuluh menit. Hanya suara klakson dari kendaraan lain yang berbunyi secara bersaut-sautan, seolah marah atas kemacetan siang ini. Hingga menit keduapuluhsatu dia pun mulai angkat suara. Terdengar sedikit keraguan pada tenggorokannya.

“kau siswa baru ya? Siapa namamu?” dia basa basi. Matanya yang besar melihat tajam ke arahku. Aku bagai ditusuk pedang sang raja! Aku menjawabnya dengan anggukan. Bibirnya pun membentuk huruf O besar.

Aku memang siswa baru di sekolah ini. Baru sebulan. Aku pindah dari sekolahku yang lama karena ibuku dipindah tugaskan. Aku pindah dari sekolah Luar Biasa ke sekolah umum. Hebatkan? Walau aku harus menangis tiga hari tiga malam agar Ibu mengabulkan permintaanku. Meski terasa berat pada mulanya, namun kini aku telah terbiasa dengan budaya sekolah yang berubah drastis dari kebiasaan yang lama. Ala bisa karena biasa, aku pun bisa menyesuaikan diri di sekolah umum ini. Untuk nama, aku mempersilahkan dia membaca sendiri dari papan nama di seragamku.

“kamu dipanggil apa?” tanyanya lagi.

Kuambil buku kecilku dan kutuliskan huruf D-A-S. Buku ini menjadi alat bantuku untuk berbicara. Setidaknya tanganku sangat cepat dalam menulis, jadi orang-orang tak perlu menunggu terlalu lama.

“DAS! Singkat ya namamu! Aku Diaz.” tangannya menjulur ke arahku. Kusambut dengan penuh suka cita. Kuimpikan dia sendiri yang memperkenalkan dirinya dan itu terjadi hari ini! Cintaku semakin menggebu. Apa yang bisa menggantikan indahnya saat-saat Diaz menceritakan lelucon lucu bertubi-tubi untukku? Tawa kami berdua pun lepas. Tak kusangka dibalik pamor tingginya sebagai Ketua Osis, dia menyimpan bakat sebagai komedian. Hahahahahah……

“Das, kadang-kadang aku tak mengerti gerakan tanganmu. Bisa ajari aku?” pintanya di ujung perpisahaan. “agar komunikasi kita lebih lancar.” tambahnya.

‘dengan senang hati Diaz!’ tanganku menari-nari dan menunjuk hati. Aku mengangguk. Dia paham.

“kau tahu, terlalu banyak bicara juga kadang-kadang sangat membosankan. Aku ingin menutup mulutku. Aku ingin bicara seperlunya.” Katanya polos. Aku tersenyum meresponnya.

“Das, apa kau punya sebuah kalimat yang ingin sekali kau ucapkan? Untuk seseorang misalnya? Ibumu atau ayahmu mungkin.” dia penasaran.

Aku menerawang menembus pikirannya. Sebagai seorang tunawicara, aku memang menyimpan ratusan bahkan ribuan ucapan. Kalimat dan pertanyaan. Jutaan pernyataan dan ungkapan. Tapi karena keterbatasanku, Tuhan seperti memberi alat pengerem agar aku bicara seperlunya saja. Katakan yang kukatakan, dan diam yang tak ingin kukatakan. Kuhembuskan napas berlahan. Dia masih menunggu. Tanganku mulai menulis, ‘biarlah itu menjadi misteriku’. Dia menatapku. Lama. Kubalas tatapannya.

“aku mengerti.” dia pun tersenyum manis tanpa beban.

Aku ingin mengatakan terima kasih kepada ibuku, karena kesabarannya mengurusku tanpa pamrih. Aku ingin menjelaskan bahwa aku bukan beban untuk ayahku, melainkan anugerah yang patut dia syukuri karena berkat akulah dia mengerti kata menghadapi anak kekurangan sepertiku. Aku ingin menyampaikan rindu dari lubuk hatiku kepada Anita karena berkat celotehnya tentang Matematika, aku justru menyukai pelajaran tersebut. Dan aku ingin menahan Diaz lebih lama lagi untuk duduk di sebelahku dengan membalas lelucon-leluconnya yang lebih lucu dari miliknya agar dia betah. Aku ingin tertawa bersamanya di tengah kejenuhan macet jalan raya di seputaran Kota Bandung. Aku pun ingin melambai padanya dari balik jendela ketika dia berdiri di luar bus sambil berujar: ‘dah Diaz…sampai jumpa besok!’. Itu keinginanku, andai dia mengerti.

Untuk Aa,

Ditengah keterbatasanmu, kau tetaplah  sahabat yang menyenangkan!


Leave a Reply