Bukan Sekedar Ungkapan


Bel tanda kegiatan belajar mengajar berbunyi nyaring seantero sekolah. Semua siswa bersorak gembira, seperti melepaskan penat yang telah bersarang di kepala selama berjam-jam. Aku segera merapikan peralatan belajar dan meninggalkan kelas yang mulai kosong. Walaupun jam belajar sudah berakhir, namun seperti masih ada yang mengganjal di benakku apalagi kalau bukan mengenai tugas dari guru Bahasa Indonesia, yaitu PR membuat surat! Bu guru meminta setiap siswa untuk menulis sebuah surat untuk orang terkasih, seperti orang tua, teman atau saudara. Aku bingung setengah mati. Haduh, aku nulis surat untuk siapa ya? lirihku.

Tiba-tiba mataku menangkap sesosok siswa yang tengah sibuk merapikan keranjang-keranjang di sudut kantin sekolah yang sepi. Dhan?! Dia menghitung berapa hasil penjualan kripik-kripik singkong aneka rasa yang dititipkannya kepada Bi Ijah, penjaga kantin, dengan penuh syukur. Dia adalah satu-satunya siswa yang menurutku patut diacungi jempol karena dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa merepotkan kedua orang tuanya. Aku selalu kagum atas kegigihan dan kesederhanaannya. Dan jika boleh jujur, sudah lama sebenarnya aku ingin mendekatinya, namun dia selalu menghindar. Apa karena aku ini anak Kepala Dinas Pariwisata RI? Aku tahu mengerjakan PR-ku! batinku.


Tit. Tit. Aku membunyikan klakson nyaring.

“Dhan, mau naik motor bareng aku?” tanyaku kepada Dhan yang sedang jalan di pinggir motor. Aku merapatkan motor ke arahnya.

Dia menoleh. “eh, Nay. Nggak…nggak usah! Sebentar lagi kan sampai.”

“tapi kamu berat bawa keranjang-keranjang itu. Naik motor bareng aku aja, yuk Dhan. Aku nggak keberatan kok” bujukku.

“nggak usah, Nay. Tuh liat, udah dekat kan! Kamu duluan aja.” Balasnya lembut tanpa mau menyinggung perasaanku. Dia memang pemuda yang baik.

“kalau begitu aku duluan ya, Dhan. Sampai jumpa di kelas ya…” aku pun segera berlalu diantara siswa-siswa lainnya yang mulai ramai di mulut gerbang sekolah.

Pelajaran dimulai pukul 7 tepat. Bu Yanti, guru Bahasa Indonesia, memasuki ruangan dan mulai menagihkan PR semua siswa.

“ayo, segera kumpulkan PR surat kalian! Ini surat bebas, di dunia kerja nanti kalian justru harus siap ketika menulis surat yang bersifat formal apalagi antar instansi.”

Huuuuu…..siswa bersorak kurang sreg. Namanya juga siswa!

Setelah semua siswa mengumpulkan buku tulis berisi PR, Bu Yanti segera memeriksanya secara acak. Aku berharap suratku mendapatkan nilai yang bagus.

“baik anak-anak, Ibu menemukan surat yang bagus sekali. Kayaknya…ini seperti surat dari seorang penggemar ya…”kata Bu Yanti lantang.

Huuuuuu… siswa kembali bersorak membuat kelas gaduh. “siapa tuuh…?”

“Nay, tolong dibaca ya surat kamu…”pinta Bu Yanti.

Aku yang sedang mengobrol dengan Tiara, teman sebangkuku, kaget setengah mati ketika namaku dipanggil. Kelas kembali gaduh. Semua mata tertuju padaku.

“su…rat saya, Bu?”kataku terbata-bata. Aku tidak menyangka Bu Yanti memintaku untuk membaca suratku di depan teman-temanku sekelas. Gawat!

“iya, dibaca dong! Kalau nggak dibaca, mana dia tahu perasaan kamu.”

Huuuuuu…lagi-lagi siswa bersorak sambil cekikikan.

“baca dong, Nay. Kita kan kepingin tahu suratnya buat siapa…ciyeeee…”kata Ucok, siswa yang paling bandel di kelas. Uh, bête!

Aku pun sudah kepalang basah. Aku tak bisa menghindar apalagi menolak permintaan Bu Yanti. Lagipula, ini adalah kesempatanku untuk menunjukkan apa yang kutulis. Diam-diam di dalam hati, aku berharap setelah ini, dia tak membenciku.

“Surat…”aku gugup.

“surat untuk kekasih dong!!Hahahah…”celetuk Ucok diikuti tawa teman-teman sekelas. Hahaha…

“husstt. Yang lain diharapkan diam.”tukas Bu Yanti setengah kesal. “lanjut, Nay.”

Aku menahan napas. Pandanganku menyapu seluruh wajah siswa di kelas. Mereka menunggu terusan kalimatku. Aku menelan ludah.

Untuk sang ahli,

Apa kabar kau di sana? Mudah-mudahan masih selalu hidup demi kehidupanmu, ya! Kau tahu, aku selalu dan masih menunggu kau melihatku meski segala usahaku selalu tampak sia-sia di matamu.

Boleh kuakui satu hal? Aku jatuh cinta padamu! Ya, itulah pengakuanku. Kau mau menerima atau tidak, itu urusan belakang. Aku bahkan tidak perduli walau kau harus merobek suratku ini. Atau kau (pada akhirnya) menolak perasaanku. Aku tidak memikirkan hal itu, karena bagiku jatuh cinta padamu adalah ekuivalen dengan jatuh cinta pada kehidupan. Kau mengerti wahai ahli?

Kau ahli dalam hal kegigihan. Kau rela bekerja di atas rata-rata pemuda seusiamu walau bukan berdagang batu permata. Kau ahli dalam kesederhanaan. Kau rela berjalan berkilo-kilo meter walau kutawarkan untuk menumpang di mesin roda duaku. Aku kagum padamu ahli. Sungguh kagum setengah mati.

Huuuuuu….ciyeee…suit…suit…suara-suara sumbang kembali menggema. Sigh!

Aku selalu melihatmu dari sudut pandangku. Andai suatu hari kau mau membuka hatimu untukku, aku akan sangat merasa beruntung karena akhirnya bisa belajar dari sang ahli. Kalau pun tidak, tak mengapa karena mengagumimu adalah hal terindah yang akan kukenang meski telah menanggalkan seragam abu-abu ini.

Salam ma…nis selalu.

“gila…puitis amat! Buat siapa sih, Nay?” tanya Ucok.

Mulutku terkunci rapat. Kulirik seorang siswa yang duduk paling depan. Wajahnya datar, entah mengerti atau tidak. Dia membuang pandangannya. Aku dirundung kalut. Tiba-tiba saja ada dorongan kuat dari dalam dan kulantangkan namanya tanpa ragu.

“untuk Dhan!!!”


Leave a Reply