Maafkan Kakak, Agam!


“Kak, ayo ke pameran mobil!” adik bungsuku merengek-rengek. Aku yang sedang sibuk mengetik kontan saja merasa terganggu.

“aduh, mau ngapain sih, Dek?!” tanyaku dengan suara meninggi.

“mau lihat mobil-mobil, Kak.” jawabnya dengan mata yang berbinar-binar.

“kata siapa ada pameran mobil? HAH!!!” bentakku semakin kesal.

Dia tak menjawab. Dia diam sejenak karena kaget melihatku marah. “kata temen, Kak! Si Ardi bilang sedang ada pameran mobil di lapangan Gazibu.” katanya dengan suara yang menahan tangis.

“besok Kakak ada tes! Sekarang Kakak harus belajar. Nggak usah deh ke pameran segala!!!” tambahku. Aku pun kembali berkutak dengan laptop dan setumpuk buku di meja belajar. Aku tak menghiraukannya. Adikku pun hanya bisa pasrah sambil berjalan keluar kamarku tanpa suara dan menutup pintu.


Hari ini aku mendapatkan panggilan interview pada sebuah perusahaan multinasional di Jakarta. Aku begitu antusias karena aku memang telah lama menunggu-nunggu panggilan tersebut. Aku akan mengejar bus yang berangkat pukul 8 pagi dari terminal Leuwi Panjang, Bandung. Itulah sebabnya aku telah meninggalkan rumah lebih cepat sejak pukul 6 pagi.

“Kak, pulang jam berapa? Nanti sore ke pameran mobil yuk!” kata adik bungsuku ketika aku sedang memasang sepatu.

“aduh…Kakak pulangnya besok!” balasku bohong.

“yaah…kalau besok pamerannya sudah nggak ada.” katanya dengan nada penuh kekecewaan. Dia pun meninggalkanku dan segera masuk ke dalam kamar.

Tanpa merasa bersalah, aku pun segera berpamitan dengan Mamaku dan melangkah meninggalkan rumah. Sesampainya di Jakarta, aku segera bertemu dengan pihak perusahaan yang menelpoku kemarin. Menjelang tengah hari, interviewku telah dimulai. Dengan penuh percaya diri aku berhasil menaklukkan semua pertanyaan yang dilontarkan oleh para staf HRD. Aku pun mulai berandai-andai untuk mengganti profile pekerjaanku pada Facebookmenjadi works at Nestle. Wow, keren! gumamku.

Selang beberapa menit, HP ku bergetar. Kulihat nama Mama di layar HP. Segera saja kuangkat dan mengabarkan optimisku kemungkinan akan lolos pada serangkaian seleksi perusahaan besar ini.

“halo, Mah.” kataku setengah berbisik.

“Farah pulang jam berapa?” tanya Mama di seberang.

“emangnya kenapa, Mah?” balasku heran.

“Adikmu demamnya tinggi banget, Farah! Mama takutnya dia step!” suara Mama terdengar sangat panik.

“APA???” aku terkejut setengah mati. Jantungku berdegup sangat kencang.

Ya Tuhan, padahal dia hanya minta ditemani ke pameran mobil. Betapa teganya aku yang dengan sengaja begitu mengacuhkan keinginannya, hingga saat ini dia pun mengalami demam tinggi. Mungkin ini karena dia memang benar-benar ingin ke pameran tersebut! Lirihku.

“aku sungguh kakak yang tak berguna.” aku menghujat diriku sendiri.

Tanpa memperdulikan apapun hasil dari interview yang telah kulakukan. Aku hanya ingin segera pulang ke rumah. Aku sudah tak sabar ingin mengajaknya ke pameran mobil. Segera kukirimkan sms kepada seorang teman yang begitu maniak dengan pameran mobil, dengan maksud ingin menanyakan kapan pameran mobil tersebut berakhir.

“lue telat, Farah! Sebenarnya pamerannya udah selesai sejak kemarin!” kata Braga, temanku. Deg!

Aku semakin merasa bersalah. Entah bagaimana aku bisa menebus kesalahanku pada adik laki-lakiku.

“Farah, demam adikmu semakin tinggi. Bahkan dia kejang-kejang! Mama takut, jadi segera dilarikan ke RS!” Mama menelpon sambil menahan tangis.

Hatiku semakin hancur. Airmataku pun menetes tanpa henti. Pandanganku menerawang menembus jendela bus jurusan Jakarta-Bandung pada sore hari. Alam bawah sadar mencoba mengingatkanku bahwa seharusnya aku beruntung memiliki seorang adik laki-laki sebagai pengganti Ayahku yang telah meninggal tahun lalu.

Namanya Agam. Dia tampan, kulitnya putih bersih, hidungnya mancung, dagunya runcing dan jidatnya jenong. Dia pun sholeh dan cerdas! Setiap suara Adzan berkumandang, dia segera berlari menuju mesjid yang memang jaraknya tidak jauh dari rumah. Agam sangat menyukai semua hal yang berkaitan dengan benda bernama mobil. Bahkan dia bercita-cita untuk menjadi seseorang yang bisa berkarya dan selalu dekat dengan kendaraan roda empat tersebut. Tetapi dikarenakan keangkuhanku hari ini, akhirnya Agam harus memendam perasaanya sendiri hingga demam.

Tanpa pikir panjang, aku memohon pada Braga untuk membelikan sebuah mainan mobil-mobilan berukuran besar. Aku tak peduli jika harus membayar mahal! Braga pun menyanggupinya. Aku dan Braga sepakat untuk bertemu di gerbang Rumah Sakit. Entah pukul berapa kala itu, sebab yang memenuhi otakku hanyalah sosok Agam.

Kukirimkan sms kepada Mama bahwa aku telah tiba di Rumah Sakit. Dengan kondisi tubuh yang kelelahan, aku pun mengetuk pintu sebuah kamar dan kudapati Mama sedang berada di samping Agam. Wajah Agam pucat. Tubuhnya yang berselimut kain bermotif putih polos terbaring lemah.

Aku mendekati wajah Agam dan berbisik padanya. “Dek, Kakak punya hadiah untuk Agam…” Aku berusaha menahan air mata.

Dia membuka matanya dan segera melirikku. “jadi Kakak pergi untuk membeli mainan buat Agam?” desahnya.

Tangisku pecah. Kucium wajahnya dan merebahkan kepalaku di dadanya. Dia hanya tersenyum dan menggengam erat hadiah mobil-mobilan merahnya.

Untuk Agam, I love you. I do!


Leave a Reply