Pengalaman Dosen Muda Memeriksa Ujian: Catatan Mawar


Hari ini saya bertekad menyelesaikan kewajiban memeriksa lembaran jawaban Ujian Akhir Semester (UAS) para mahasiswa. Sisa-sisa “santai” pada long weekend minggu sebelumnya benar-benar memanjakan sehingga saya sempat menunda kewajiban tersebut hehehe….(Sorry, students! Because I need a fresh air through long weekend, too 😛 ) Kebetulan Semester Genap ini saya memegang 5 kelas, sehingga dapat dibayangkan betapa banyaknya lembaran jawaban yang harus diperiksa. “Mereka pasti sangat menanti-nanti!” pikir saya.

Setelah mempersiapkan semua kunci jawaban dan memisahkan lembar UAS dan Tugas Analisis mereka satu per satu, mulailah saya menyobek setiap amplop cokelat yang saya bawa dari ruang Sekretariat Fakultas kemarin. Lembar demi lembar tulisan mahasiswa saya baca penuh perhatian, seperti tak mau kelewatan sehuruf pun karena ini berkaitan dengan apa yang telah mereka upayakan. Sebenarnya, mudah saja bagi saya memberikan nilai maksimal pada setiap nomor jawaban, namun mudah pula bagi saya membubuhkan angka kurang “cantik” jika penjelasan yang dituliskan sedikit ngelindur! Hehehe….Ini realita, Bung! Terkadang mahasiswa telah mencoba berpikir keras untuk menjawab pertanyaan di hadapan mereka, tapi atmosfir Ujian yang mencekam berhasil menghancurkan kata-kata jawaban yang terpikirkan. Konsekuensinya, jawaban yang kurang nyambung pun (terpaksa) ditulis dari pada membiarkan lembaran jawaban tersebut kosong melompong. Iya, kan?

Namun tiba-tiba saya terkejut bukan kepalang! Dalam lembar jawaban UAS kali ini, saya menemukan sebuah “catatan” yang tak terduga! Bukan kata-kata romantis, tapi kata-kata agak memohon nilai! Gubrak!

Surat tersebut ditulis oleh seorang mahasiswi. Sebut saja namanya Mawar (bukan nama sebenarnya).

Jelas sekali dalam catatan Mawar tersebut, dia terlihat sangat khawatir atas nasib nilainya. “Bu Cut kasih nilai ya Bu, kasihan Bu apabila nilai saya jelek! Minimal dapat B gitu Bu”. WHAT??!!!! Ya….kurang lebih begitu bahasanya. Pas baca itu, rasanya jantung saya mau copot dari tulang penyangganya. Mata saya terpejam dan saya langsung membayangkan wajah si Mawar. Yang mana ya anaknya? Apakah dia sering bertanya di kelas? Bagaimana ya presentasi dia waktu itu? Dia biasa duduk dimana ya? Dia suka terlambat nggak ya? Haduh, yang mana….yang mana???‪#‎tepok‬ jidat, selalu lupa wajah orang. Plok!

Seribu satu pertanyaan di benak saya! Terus terang, saya sering dapat “catatan-catatan tambahan” dalam kesempatan memeriksa hasil Ujian mahasiswa. “Mohon maaf tulisan saya jelek, Bu.” “Maaf Bu, hanya ini yang bisa saya jawab. Selebihnya lupa Bu.” “Waktunya keburu habis, Bu.” “Maaf Bu urutannya agak acak-acakan.” Dan pesan cinta lainnya yang saya anggap masih wajar. Namun kali ini, catatan tersebut terkesan agak berani sehingga menampar saya dan menimbulkan sebuah pertanyaan: apakah hanya nilai yang Mawar takutkan?

Inilah realita sekarang. Pendidikan tidak lagi dianggap sebagai sebuah proses yang harus dijalani secara tekun dan ulet bagi para penuntut ilmu. Mawar (dan mungkin teman-temannya) terbiasa memperoleh sesuatu secara instans. Pikiran Mawar mandek dan berlindung terus di balik kemudahan itu. Bisa dikatakan bahwa mahasiswa yang bersangkutan sangat terlihat tidak percaya diri, tidak percaya pada kemampuannya, kurang berusaha dan melupakan nilai (value) yang sebenarnya dalam proses belajar. Hidupnya sudah selesai karena kurang menghargai perjuangan dan kurang gigih, termasuk dalam menuntut ilmu.

Apakah ini yang dimaksud oleh Prof. Rhenald Kasali sebagai mental penumpang (passenger) yang semakin menonjol di kalangan mahasiswa terdidik saat ini?

Orang-orang yang bermental penumpang cenderung kurang mandiri, cepat menyerah, sangat mudah dikendalikan rutinitas, autopilot, mudah sekali mengeluh dan bersungut-sungut, tidak paham alternative jalan keluar, mudah frustasi menghadapi keadaan yang cepat berubah, kurang maksimal dalam usaha, serta menjadi boros meski bermaksud hemat.

Jaman teknologi telah mengikis etos anak muda seperti Mawar dalam menuntut ilmu dan mengejar cita-cita. Mereka hanya khawatir dengan nilai semata, tanpa menikmati proses dibelakangnya. Perlu disadari bahwa nilai berupa huruf mutu A, B, AB, C, D dan E, yang diperoleh dari setiap mata kuliah semata bukanlah bekal satu-satunya bagi mahasiswa untuk menghadapi dunia nyata yang berubah cepat. Mahasiswa seharusnya memiliki motivasi instrinsik agar timbul kasmaran belajar. Bukan terpaksa belajar hanya untuk mendapatkan nilai saja, namun seharusnya ada ‘bangunan’ motivasi dari dalam dirinya melalui proses kimiawi otak yang kokoh, tangguh, dan tidak berorientasi pada suatu angka saja namun yang lebih besar, yaitu pemahaman dan kebijaksanaan. Lawan dari mental passenger adalah mental driver.
Apakah Mawar bisa memiliki mental driver ini?

Tentu saja! Asalkan Mawar dapat menyadari pribadinya sebagai mandataris kehidupan. Mandat ini sangat erat kaitannya dengan pemaknaan bahwa diri kita (self) merupakan kendaraan yang dipinjamkan oleh Tuhan selama kita berkiprah di dunia ini. Kendaraan ini berupa gabungan kompetensi (what you do), kecekatan (how to agile you are), dan perilaku (your attitude and gesture). Pendidikan yang dijalani oleh seorang driver sejati adalah proses belajar bagaimana memperbaiki, mengubah pola pikir dan cara menjalani hidup.

Mendadak catatatn dari Mawar juga memberikan tantangan bagi saya bagaimana seorang pendidik menjadikan belajar sebagai suatu hal yang menyenangkan, menarik, dan menawarkan pengalaman menantang sehingga membuat mahasiswa kerasan dan kecanduan. Kalau perlu melupakan target nilai berupa angka saja! Tapi suatu pengajaran yang dapat diterjemahkan dalam kehidupan nyata, relevan dan bermakna. Tidak hanya memindahkan isi buku ke otak mahasiswa, sehingga ada kekhawatir dalam diri mereka ketika lupa apa yang dikatakan di buku, maka kiamat pasti datang! Inilah menjadi PR besar saya, untuk menjadi seorang pendidik yang inspiratif karena kebutuhan pengetahuan dapat digali sendiri oleh mahasiswa di Wikipedia atau Google, ya kan?

Catatan dari Mawar telah menampar saya! Keras sekali! Namun juga akan saya kembalikan kepada si empunya catatan bahwa belajar bukan soal nilai bagus atau jelek, namun tentang keberanian menjawab, mengungkapkan pendapat (meski tak sesuai persis dengan buku), menuangkan ide-ide dan pengetahuan yang dimiliki dan menumbuhkan percaya diri.

Smoga tak ada lagi catatan dari Mawar-Mawar yang lain yah. Amin.

Dear Mawar, tenang ajah…Nilai kamu lebih dari sekedar kombinasi angka dan huruf. Jadi optimislah!

Berikut bukti-buktinya. Jangan dicontoh di rumah yaah, apalagi tanpa didampingi ahli hehehe…Bahaya!

IMG_20160514_213128

IMG_20160514_214612

IMG_20160515_123926

IMG_20160515_125644

IMG_20160515_135455

IMG_20160515_141126

Sincerely,

A Lecturer who examine your test!

, ,

Leave a Reply