Sudut Rindu untuk Arman


Aku melingkari tangan di bibir cangkir yang masih penuh berisi kopi putih kegemaranku. Aku melirik buku kumpulan puisi karanganku sendiri. Telah lama rasanya aku tak menguntai kata teristimewa di buku itu. Keduanya memang sangat enak dan wangi! Kopi dan puisi adalah makrokosmos yang membentuk seutuhnya diriku. Keduanya mampu membiarkan pikiranku melayang menuju sepenggal kisah yang begitu berkesan bagiku setahun yang lalu. Hanya bagiku.

Awal tahun lalu aku dinyatakan lulus seleksi pada sebuah ajang pencarian pemuda yang akan melakukan pertukaran di beberapa negara. Sudah lama aku menginginkan keikutsertaan tersebut dan baru terwujud kala itu. Tahun dimana aku akhirnya dapat menyelesaikan kuliah 3,5 tahun. Satu semester lebih cepat. Semua kejenuhanku berkuliah terbayarkan, ditandai dengan sebuah kartu emas bertuliskan “Silahkan” untuk mencoba ini dan itu dari orang tua. Aku bagaikan kuda berotot yang akhirnya bisa bebas berlari menghampiri setiap sudut padang rumput tanpa takut akan diikat kembali di dalam kandang. Sang kuda akhirnya terpukau akan kerasnya terpaan angin namun dapat diterjang berkat ototnya kakinya yang begitu kuat. Aku akhirnya bisa menyapa dunia dengan segudang prestasi yang selama ini telah kuukir secara diam-diam. Singkat cerita, impianku tuk menginjak Negeri Sakura menyela di depan mata. Fatamorgana bersama pemuda dari negara lain menari-nari hingga aku tak mau berkedip barang sedetik. Akrab merangkul…

“Kapan dikarantinanya?” suara nyaring membunyarkan imajinasi. Tere telah berdiri dihadapanku sambil menyodorkan tahu goreng yang masih berminyak.

“Mulai hari Sabtu.” jawabku singkat. Tanganku mengambil tahu dan melahapnya.

Aku akhirnya harus menghadapi karantina. Diiringi doa dari orang tua, akupun meninggalkan rumah menuju hotel berbintang 2 yang berlokasi tidak jauh dari gerbang utama sebuah universitas kenamaan di Kota Bandung.

“Arin.” Ujarku ditengah sesi perkenalan. Tanganku disambut hangat pria berkacamata, hitam manis dan tinggi semampai dengan tahi lalat menghitam di ujung bibirnya.

Matanya memperlihatkan kelelahan sebagai gambaran jauhnya perjalanan yang harus ia tempuh. Semarang-Bandung. Aku salut padanya hingga ikhlas mengembangkan senyum termanis yang pernah kumiliki sebagai awal simpul tali persahabatan kami. Sebuah anggukan kepala berbalas untukku hingga beberapa jam kemudian kami berdua telah akrab. Seleksi semacam ini memang memberikan kesempatan luas bagi siapa saja yang berkeinginan mengikuti pertukaran pemuda, di hampir seluruh daratan Indonesia.

Lima hari pun berlalu penuh kesan. Persaingan antar peserta telah tenggelam dalam sebuah kata “persahabatan”. Adakah yang bisa menggantinya? Aku jamin tak ada! ‘Sama-sama ya…’ yang terlalu sering dibahas para peserta baik di meja makan, di kamar, di ruang seleksi, maupun di grup diskusi hingga kami serasa tak mau berpisah. Bahkan sesekali tawa meleburkan ambisi masing-masing hati dan menciptakan keakraban lahir batin. Walau akhirnya aku belum terpilih dan harus menunda daftar Negeri Sakura sebagai cita-citaku di tahun baru, tapi ada sebuah sudut yang begitu membekas di hatiku. Sudut yang dipenuhi hanya sosoknya. Hingga tiap detik di penghujung perpisahaan aku masih ingin melihatnya lebih lama.

“Arin, kalau aku ke Bandung, boleh kan aku diajak jalan-jalan sama kamu?” tanyanya. Pagi itu adalah check out terakhir masa karantina.

Kapan kau datang? batinku. Aku masih menunggumu.

Kuangkat kepalaku yang sedari tadi tunduk melihat ampas kopi yang mengendap di dasar cangkir. Kembali kumainkan jari telunjuk tapi kali ini mengelilingi piring tatakannya. Kugeser wadah kopi yang telah hilang setengah isinya dan melahap kudapan renyah yang menjadi pengalihperhatianku atas pertanyaan yang tak pernah berani kuutarakan itu. Tanya tanpa jawaban.

Siang itu kuaktifkan account-ku. Tahun berlalu, euforia alumni para finalis mulai meredup. Grup di Facebook yang sengaja dibentuk oleh seorang temanku sejak karantina lalu, telah ditinggalkan ‘penghuninya’ yang semakin sibuk, satu demi satu. Tak ada lagi foto momen-momen ceria yang di-upload barang sebuah pun. Semua obrolan maya telah menunjukkan tanggal kadaluarsa yang tak mungkin untuk dibahas kembali.

Sedang asyik-asyik kutuliskan status rindu di halaman grup, tiba-tiba sebuah chat muncul di ujung halaman. Jantungku pun berdegup kencang ketika tampak sebuah foto profil yang sangat kukenal. Dia!

Arin! Aku seperti sedang melihatmu!’ tulisnya.

Arin, bagaimana kabarmu? Adakah sebuah puisi untukku?” tambahnya.

Aku hanya tersenyum. Belum ada sebuah huruf pun yang kuketik untuk membalas chat-nya. Aku hanya bingung membedakan, apakah aku senang, gembira, terharu, deg degan atau…Aku mencoba memahami perasaanku sendiri. Butuh waktu banyak untukku membalas kalimatnya hingga laptopku tiba-tiba harus padam seketika karena kehabisan daya di dalam baterainya. Aduh! Lihatlah, baterai pun tak mau kompromi.

Aku pun bergegas merapikan laptopku dan menghabiskan setengah kopi yang belum sempat kuseruput. Yang ada di otakku kini adalah bisa membalas sapaannya secepat mungkin di rumah. Kurogoh lembar limapuluhribuan di saku celana untuk membayar pesananku, namun tak ada sama sekali. Dompetku pun tiba-tiba lenyap di dalam tas.

“aduh, dompetku ketinggalan di…” kucoba mengingat kembali. “Ha??!! Ya ampun, di rumah Tere!” tukasku memukul jidat. Siang itu sebelum ke kedai kopi, aku memang meluangkan waktu untuk beristirahat di rumah Tere, sahabatku.

Entah apa namanya, tapi hpku pun ikut-ikutan lowbet. Tak ada cas-an yang terangkut ke dalam tasku. Semua serba menyusahkan! Aku panik setengah mati. Kucoba lirik kanan kiri, berharap ada seseorang yang kukenal lalu akan mengemis padanya untuk dipinjamkan uang. Tapi hasilnya sekali lagi ‘nol’.

“mbak, maaf, dompet saya ketinggalan! Hp saya juga mati” tukasku seraya setengah berbisik. “Jadi boleh saya menumpang pinjam telepon?” tanyaku memberanikan diri. Aku berencana menelpon Tere, bagaimana pun caranya.

“apa?” seru wanita bercelemek cokelat. “oh, iya silahkan.” jawabnya sambil mempersilahkanku menggunakan telepon di sudut ruangan Staf.

Kuceritakan pada Tere apa yang sedang menimpaku. Di ujung telepon, ia pun menyanggupi untuk menjemputku di kedai kopi langgananku. Aku bersyukur memiliki sahabat yang bisa diandalkan. Setidaknya untuk saat ini.

“mbak, thanks ya. Teman saya sekarang menuju ke sini. Nanti akan saya bayar kopinya.” ujarku lega.

“Oh, nggak usah mbak. Kopinya sudah dibayarkan!” balasnya santai.

“Ha? Dibayar siapa, Mbak?” tanyaku penuh heran.

“Nggak tahu! Itu dia orangnya. Katanya dia teman mbak.” Jelasnya sambil menunjukkan sebuah punggung yang mendekati sudut ruangan bertuliskan ‘thank you’.

Aku terperangah. Apa? Aku mengerutkan kening mendengar jawaban karyawati tersebut. Tanpa pikir panjang aku pun menyelinap diantara pengunjung, menjemput tasku dan berlari mengejar pria bertopi hitam tersebut. Seingatku, aku tak kenal siapa-siapa di kedai ini, batinku.

“Mas, tunggu! Ehh, mas..tunggu!” kucoba memanggilnya ditengah keramaian pusat kota siang itu.

Topi birunya seperti menari-nari diantara kepala para pencari kesenangan di Bandung. Aku memusatkan mata hanya padanya. Pandanganku lurus untuk mengejar siapa yang telah ikhlas membayarkan kopiku. Langkah kakinya begitu cepat. Dia berbelok ke sebuah tikungan dimana toko-toko pakaian berderet sejajar. Aku pun menyerah tuk mengejarnya. Nafasku terengah-engah sehingga tubuhku dibasuh peluh. Di dalam hati aku mengucapkan terima kasih dan berjanji akan mentraktirnya!

Malam itu langit begitu cerah. Aku tak melepaskan pandangan dari layar laptopku. Masih ada harapan untuk bisa bertemu dengannya, walau hanya di dunia maya. Namun, hingga cicak berhenti bersuara, tak ada ‘jendela chat’ yang muncul di layar. Tak ada tanda-tanda yang menunjukkan jika dia sedang ‘on’. Aku pun dirundung kekecewaan. Kuakhiri penantianku dengan hanyut bersama malam mengikuti hukum rotasi bumi meski ruang hati dirundung seribu rasa.

Bip. Bip. Bip.

Arin! Aku sedang di Bandung. Ketemuan yuk!!’ sebuah pesan singkat masuk tanpa permisi di hp mungilku. Kutatap lama nama yang tertera, hingga ku eja A-R-M-A-N.

‘Boleh, di Kedai Kopi Ngebul gimana? Tahu, kan?’ balasku cemas. Lama tak ada balasan. Semenit. Dua menit. Limabelas menit.

‘OK’ titik.

YES! Segera kuhentikan angkot yang akan membawaku ke sebuah kedai kopi kenamaan di pusat kota. Sengaja kupilihkan tempat itu, karena kuyakin semua pengunjung Bandung akan tahu lokasinya. Pintu kedai kubuka dan kudapati pria berkacamata, hitam manis dan tinggi semampai dengan tahi lalat menghitam di ujung bibirnya. Ia berdiri menyambutku.

“Mbak. Itu dia orang yang bayar kopi mbak kemarin!” kata karyawati bercelemek cokelat. Aku tersenyum penuh syukur. Kulangkahkan kakiku mengikuti tarikan bumi yang selama ini kucari. Pria itu masih berdiri.

“Hai, Rin! Lama tak jumpa.” sapanya penuh kelembutan. Selembut matanya yang bersinar penuh energi positif. Tak ada kelelahan secuilpun di pupil lebarnya.

Aku mengembangkan senyum dan berujar, “Hai! Kali ini aku yang traktir!”

Dia hanya tertawa lebar, entah ingin memamerkan gigi putihnya atau sekedar menutupi kerinduannya. Aku tak mau tahu. Misiku adalah Arman.

Tetesan air berjatuhan dari tampungan awan di atas langit Bandung. Aku dan Arman hanyut dalam romantisme manusia, bersama kepulan asap kopi yang mengepul diantara kami. Alam syahdu pun paham tuk menyatukan Semarang-Bandung menjadi hanya sejengkal di sore itu, seperti berusaha menutupi spasi kosong selama setahun lalu. Antara aku dan Arman.


Leave a Reply