Yang Terselip Diantara Ungu


Jam tangan menunjukkan pukul 13.45 WITA. Ruang kelas hampa tanpa siswa seorang pun. Deretan meja dan kursi telah ditinggalkan penghuninya satu demi satu. Hujan yang turun di luar ruangan begitu deras. Butirannya yang berbenturan dengan tanah sanggup menggetarkan bumi untuk kemudian berdiam sejenak, dan basah sesuai lamanya hujan. Tubuhku bersandar di dinding kelas tanpa mampu berhenti untuk menggigil. Aku dan dia sebenarnya hanya berjarak sejengkal, namun karena ketakutanku dan keangkuhannya, aku hanya menelan ludah. Melihatnya dari sudut yang begitu sempit tertutupi cahayanya sendiri, dia tetap saja ‘terang’.

Dia, dengan jaket kulitnya, tak pernah berkurang pesonanya walau aku harus memicingkan mata untuk tetap bisa mengakui keberadaannya. Apakah dia tahu ada aku di sini yang menunggu untuk disapa? Aku sangsi. Mungkin dia hanya menganggapku seperti bayangan yang ada di ujung lorong. Gelap.

“Das, kamu belum pulang?” tanya Mirwan, teman kelasku, sambil membungkus tubuh kekarnya dengan sebuah jas anti hujan.

“belum.” jawabku sambil menggeleng berlahan sejajar bahu. Aku masih bersender di dinding yang berwarna putih bergaris biru langit. Tangaku masih menggengam tas selempang cokelatku erat. Hawa dingin semakin menusuk hingga ke lapisan tulang.

“kalau tunggu hujan, pasti lama redanya! Mau aku anter sampai pertigaan tidak? Jadi kamu lebih mudah naik angkotnya.” Mirwan menawarkan bantuan sebisanya. Sekali lagi aku menggeleng. Menolak sopan ajakannya. Mirwan pun tidak memaksa dan pergi berlalu, meninggalkanku yang masih betah bersandar di dinding. Apakah cinta yang memberikan kekuatan maha dahsyat ini padaku?

Aku menyadari siapa aku. Dia pun demikian. Tak ada ada alasan untukku mendekatinya. Dia pun demikian. Aku adik kelas, dia tak demikian. Dia seniorku. Dia mantan ketua OSIS yang tak pernah ‘padam’. Aku siswa kelas 1 yang tak berpangkat. Dia tampan. Aku tak ada komentar. Kharismanya terpancar di setiap sudut sekolah hingga mampu mengalahkan pesona seorang anak anggota DPRD bermobil mewah sekalipun. Aku senang menjadi penggemarnya. Aku senang melihatnya berpidato. Aku senang melihanya menjadi pemimpin upacara setiap dua minggu sekali. Aku senang melihat punggungnya bertuliskan angka 7 kala ia bertanding basket. Aku senang melihatnya tertawa bersama rekan sekelasnya kala menunggu hujan reda seperti saat ini. Kuakui bahwa karena dialah aku sanggup bertahan ditengah kegelisahaan, dilirik atau diacuhkan.

Bip. Bip. Bip.

Sebuah pesan singkat menyerobot masuk. Kubaca bunyi sms dan kubalas seadanya. Masih hujan, Yah. Das belum bisa pulang’. Send.


Hari Senin ini upacara rutin kembali dilaksanakan. Seperti biasa, dia selalu berdiri ditengah-tengah lapangan sekolah yang luasnya terbatas. Tapi bagiku, dia tak pernah terlihat terbatas. Dari ujung kepala hingga moncong sepatu hitamnya, dia terlihat begitu sempurna ditengah teriknya matahari pagi. Tanpa noda sedikit pun. Tanpa ada bandingannya. Dia seperti barbel yang menghancurkan konsentrasiku untuk hormat, siap, dan istirahat sepanjang upacara berlangsung.

Upacara akhirnya ditutup dengan penghormatan kepada Pembina upacara, tak lain adalah kepala sekolah. Barisan Pasukan pengibar bendera pun mulai membubarkan diri. Para siswa secara berlahan tapi pasti ikut meninggalkan lapangan upacara secara tidak beraturan, seperti barisan semut yang diganggu dan kehilangan arah. Bubar jalan! Aku mengikuti arus pergerakan teman-teman kelasku menuju ruang belajar yang berada di lantai 2. Topi sekolah pun mulai berganti fungsi sebagai ‘kipas angin’ dadakan yang menghasilkan kesejukan berskala kecil bagi mereka yang kegerahan. Tangga disesaki oleh para siswa yang lupa mengendalikan suara ketika bercerita tentang gossip artis, berita sekolah dan proses penyelesaian PR.

“Das, boleh yaa aku lihat PR Matematikamu. Aku bener-bener lupa kalau ada PR! Kemarin soalnya ada tamu orang tuaku.” Aya memelas. Wajahnya yang bulat dirusak oleh rasa tak tahu malunya sendiri.

“trus apa hubungannya sama PR? Tamu ya tamu, PR ya PR!” aku masih berkelit. Harus kuakui bahwa mengerjakan PR Matematika sangat menguras pikiranku semalam suntuk, jadi aku tidak mau hasilnya dicontek Aya.

“Yaah, PR-nya itu susah banget! Aku semalaman memecahkan soal-soal itu. Coba ke teman-teman yang lain ya.” Kataku. Aku pun berlalu meninggalkanya sendiri di ambang pintu. Dia menyerah memohon padaku. Hingga pelajaran matematika tiba, kudengar Aya mendapat nilai bagus karena menyontek PR Wawan. Keterlaluan!

Jam istirahat berdering nyaring. Suaranya menggema ke seantero kawasan sekolah, membebaskan jiwa-jiwa yang tersiksa. Jiwa-jiwa yang tertekan dengan sulitnya teori Kimia, bakunya Bahasa Indonesia, beratnya hukum Fisika, ataupun sulitnya ber-Bahasa Inggris. Bagiku, waktu 45 menit istirahat adalah kebebasan untuk melihat dunia. Kebebasan untuk menikmati karya-karya besar pujangga di ruangan yang bertuliskan ‘Perpustakaan’. Kebebasan yang kemudian dilengkapi oleh kehadirannya yang selalu duduk di sudut tepat dibawah pendingin ruangan.

Aku melonggokkan kepala diantara rak-rak buku yang tersusun rapi sesuai jenis bacaan, mencoba memikirkan sesuatu. Kini aku bertanya sendiri, akankah segalanya akan berbeda, jika mulai detik ini aku memilih untuk memulainya terlebih dahulu dan memperkenalkan siapa diriku? Bila kukatakan bahwa akulah pengagum rahasianya sejak pertama kali dia menyelamatkanku dari amukan Ketua Keamanan Ospek dimana ia berhasil memainkan peranannya yang lebih tinggi secara bijaksana? Bila berani mengakui bahwa aku selalu berpura-pura menunggu seseorang di gedung kelas 3 seusai jam sekolah, hanya untuk melihat pesonanya sebelum hari itu berakhir? Kukubur dalam-dalam keinginan tak rasional itu. Mana mungkin dia ingat padaku, batinku berbisik.

“Bu, apa buku kumpulan puisi Taufik Ismail sudah dikembalikan?” tanyanya pada petugas perpustakaan. Dia memegang kartu anggota bermaksud meminjam beberapa buku pelajaran lainnya.

“Belum, Nak! Masih dipinjam siswa kelas 1. Kalau tidak salah diperpanjang terus sama dia, hampir sebulan loh!” petugas itu menjelaskan. Tanganya mulai sibuk meng-input beberapa judul buku ke layar komputernya.

“Oya? Memangnya dipinjam oleh siapa, Bu?” tanyanya ingin tahu. Aku tersigap. Jantungku berdegup kencang menangkap pertanyaannya. Aku berharap agar petugas itu lupa namaku. Tuhan, tolong jangan sampai dia menyebutnya.

“kalau tidak salah dipinjam Das! Namanya Andasie Hamka, siswa kelas 1A.”

Gawat! Aku terlambat berdoa kepada Tuhan. Namaku sudah disebutkan jelas. Sangat jelas. Apakah aku harus berterima kasih atau marah-marah pada petugas itu? Galau.

“Das?! Orangnya yang mana, Bu?”

Apa? Penasaran? Sungguh? Seberapa penasarankah kau pada diriku? Aku di sini. Di atas puncak kegembiraanku karena kau menaruh keingintahuan atas diriku. Batinku meloncat-loncat tanpa ritme. Aku seperti ingin merebahkan diri di atas tempat tidur penuh bunga mawar. Cihuy!


Keesokan harinya aku sengaja menunggu petugas perpustakaan lebih pagi. Kumainkan alas sepatu membentuk jejak-jejak abstrak sambil bersenandung lagu jatuh cinta. Aku tersenyum pada udara, pada matahari, pada buku Taufik Ismail, pada alam syahdu dan pada takdirku. Cinta membara perlahan menyelangkup batinku. Hampir meledak.

“Das, kamu mau ke perpustakaan pagi-pagi? Rajin banget!” Aya tiba-tiba berdiri seperti hantu di depan mukaku setengah sewot. Aku meloncat.

“ehm..hmm..aku mau kembalikan buku!” jawabku mengada-ada. “ini, buku ini katanya ada yang mau pinjam. Selain itu, aku juga takut kena denda soalnya udah sebulan kupinjam!”

Akhirnya petugas yang kutunggu telah siap membuka pintu perpustakaan. Aya pun berlalu menuju kelas. Aku menyerahkan buku bersampul ungu berjudul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, karangan sastrawan terkenal Taufik Ismail. Selain itu ada beberapa buku Kimia dan Fisika yang harus dikembalikan, sebelum keduanya membuat isi otakku keluar karena kebingungan.

“jadi kamu yang pinjam buku ini?” tiba-tiba terdengar sebuah suara.

Aku menoleh. Kelumut kepanikan meringkai muara hatiku. Dia! Mataku perpaku. Mati gaya. Aku pun terlempai pasrah, tak kuasa mengambil langkah seribu untuk bersembunyi. Tuhan, ini terlalu cepat jika harus hari ini, lirihku.

“kamu yang namanya Das?” sekali lagi suara gagahnya memecah kesunyian di dalam perpustakaan yang masih diselimuti udara pagi yang dingin.

Dia mendekatiku. Aku kikuk. Aku mengangguk berlahan. Bibirku tak mampu berkata. Sorot matanya yang tajam berhasil menikam tepat di hatiku. Kakiku terasa begitu lunglai. Aku hampir rubuh! Ruangan saat itu berubah seperti padang pasir yang luas, dan aku tetaplah butiran pasir yang dikalahkan oleh sinar mentari. Sinar yang bila dipandang dari jarak lebih dekat, ternyata tak kalah terangnya!

“Aku Bayu.” Katanya jelas. “Puisinya bagus-bagus tidak?” tanganya meraih buku tersebut dari atas meja. Dia sibuk membolak-balikkan kertas putih yang terjepit rapi dipinggirnya.

Recommended, Kak!” ujarku. Pagi itu, akhirnya sang bintang turun dari peraduannya. Damai merambak sekejap, menyebar ke setiap sudut hatiku. Indah. Penuh romantisme ala anak SMU.

Langit mendung menumpahkan air hujan terus menerus berlawanan dengan hatiku yang begitu cerah. Kata Aya, sepanjang jam pelajaran, bibirku terlalu sering tersenyum lebar. Yang paling dia syukuri adalah aku pun menjadi ‘sedikit’ lunak untuk dijadikannya sebagai tempat menyontek tugas Kimia. Biarlah!


Aku turun dari kendaraan berwarna kuning ngejreng. Aku berlari sekencang mungkin. Hari ini aku terlambat. Ayah mendadak harus ke luar kota untuk urusan dinas, sehingga ketika ayam masih terlelap pun ia telah meninggalkan rumah. Aku menambah kecepatan untuk mencapai gerbang sekolah. Dua orang guru piket telah bersiap untuk menutup pintu. Jika telat, keduanya belum tentu akan memberikan kelonggaran. Aku semakin kencang berlari. Tas yang kugendong pun tergoncang memberatkan punggungku.

“DAS!” sebuah panggilan datang dari belakang. Aku berbalik.

“Kau terlambat juga?” tanyanya sambil tersenyum. Aku tetap berlari. “oiya, bukunya bagus ya! Aku sampai membacanya berkali-kali.” aku masih berlari. Kini langkahku sejajar dengannya. Syahdu.

“oiya, puisi karyamu juga sangat bagus! Puisinya indah. Terima kasih ya!” aku berhenti. Gerbang telah ditutup. “Das, tunggu di tempat biasa ya!” dia melambai. Meninggalkan aku yang dirundung cemas. Jam ditangan seperti berhenti berputar. Puisi? Maksudnya apa? HA!!! Jangan-jangan…

Lonceng tanda berakhirnya kegiatan belajar-mengajar sekejap menjadi momok menakutkan. Tunggu di tempat biasa, ya! Kalimatnya terngiang-ngiang membuatku jenuh. Aku membisu ketika melihat gedung kelas 3. Dari atas lantai 2 dia berdiri memperlihatkan tepalak tangannya penuh makna tersirat.

Di dinding berwarna putih dengan garis biru langit, aku menunggunya. Aku menumpahkan keteledoranku pada tas cokelat yang tergantung di bahu kananku. Ini salahku! Ini salahku! Das, ini salahmu! Batinku meraung-raung penuh penyesalan. Baru kusadari bahwa puisi yang dia maksud adalah puisi yang sengaja kutulis mengenai perasaanku padanya. Dia telah membacanya. Aku lupa mengeluarkan kertas berlatarbelakang gambar hati itu dari buku Taufik Ismail. Buku itu kini di tangannya dan aku seperti menyerahkan diri sendiri kepada singa liar untuk dimakan kapan saja. Tamat.

“Das!” suara itu muncul dari balik dinding. Aku menatapnya. Lama tanpa suara. Dia pun membalas tatapanku. Bibirku terkunci. Pembelaan apa lagi yang bisa kukatakan disaat semuanya semakin jelas?

“Kak, eehmm..itu..mengenai puisi itu…itu…” aku terbata.

“Kenapa? Tidak mau mengaku?” tanyanya lembut. Aku menundukkan kepala. Beranikah aku menatapnya?

“hmmm….ma..maaf” pintaku lirih. Ujung sepatuku beradu satu sama lain.

“jujur, aku terkesima dengan puisimu!” kalimatnya meninggi. “aku…” wajahnya polos semakin tegang. “aku rasa kau memang pujangga sejati, walau aku sulit mencerna puisimu yang begitu indah. Yaa, namanya juga cowok!!” Apa?

Tapi bukannya beretorika lagi, dia justru menarik tangaku tuk menerobos tirai hujan yang kembali mengguyur sekolah siang itu. Kepingan hatiku kembali menyatu. Genggaman tangannya begitu hangat, sehangat pancaran matanya yang selalu dipenuhi kebijaksanaan. Kami berjalan beriringan menuju sudut perasaan dan saling mengunjungi hati. Aku mencoba lebih keras menterjemahkan hasratnya. Tuhan apakah ini berarti cintaku bersambut? Pertanyaan itu masih menggantung butuh jawaban.


Wadah

Cinta adalah misteri yang indah!

Indah dipagari pesona tersenyembunyi

Kala kutatap wajah sang puteri, begitu dalam.

Ada cinta mengalir di sana, tumpah tanpa wadah.

Duhai Andasie, kaukah pasangan yang selama ini kutuju?

Jika ya, izinkanlah aku menjadi wadah cintamu, selama yang kau mau!

Kulipat kembali kertas putih tersebut. Kuselipkan ke dalam buku bersampul ungu. Kudekap erat. Untaian kalimat sederhananya berhasil menghipnotisku. Aku membumbung tinggi meninggalkan tanah. Tinggi. Tinggi. Jauh terbawa asa cinta pertama. Kata orang cinta pertama itu selalu terkenang, aku setuju! Bahkan tingkat intelektual diatas rata-rata pun seakan tak berdaya, ketika seorang orator ulung membelenggu dirinya dalam sepenggal kisah cinta remaja. Cinta pertama.

Untuk F

Berpacaran denganmu membuatku jadi rangking 1. Aneh!


Leave a Reply